Gundala (2019) : Kembalinya Sang Putra Petir … dalam Sebuah Satir?

film gundala kembalinya sang putra petir
Legacy Pictures, Screenplay Films

Jika orang lain menolak untuk memperjuangkan keadilan, itu tidak berarti kita harus seperti mereka.”
 
Sinema aksi laga superhero review Gundala dalam Jagat Sinema Bumilangit kembalinya sang Putra Petir dalam sebuah satir.

Siapakah figur superhero modern Indonesia yang paling populer? Seingat saya memang Gundala! 

Seperti halnya Marvel dan DC, Indonesia juga punya Jagat Sinema Bumilangit yang diadaptasi ke dalam film.

Film perdana nya adalah Gundala versi terbaru dari sang Putra Petir, beraksi melalui satir terhadap isu sosial dan politik.

Kini, sineas Joko Anwar menggebrak perfilman nasional melalui film Gundala dengan genre superhero Indonesia modern dalam pemanfaatan teknologi saat ini.

Figur Gundala pertama kali diperkenalkan melalui komik yang terbit di tahun 1969 karya Hasmi, dalam format hitam-putih.

Lalu di tahun 1981 Gundala diadaptasi ke layar lebar yang disutradarai Lilik Sudjio dengan judul Gundala Putra Petir.

Lantas di tahun 2019 ini melalui pendekatan berbeda, figur Gundala kembali diwujdukan ke dalam bentuk film modern.

Karena berbagai keterbatasan yang ada saat itu, film Gundala versi klasik boleh dibilang sepintas bergaya film kelas B Captain America (1990).

Kini dengan dukungan finansial dan teknologi maju, serta dinahkodai sineas top Joko Anwar, film Gundala patut mendapatkan antisipasi tinggi dari penggemar maupun audiens.

satir film gundala
Legacy Pictures, Screenplay Films

Seperti halnya formula yang digunakan MCU serta DCEU, penerbit sekaligus perusahaan produksi Bumi Langit telah mempersiapkan Jagat Sinema Bumilangit jauh ke depan.

Baca juga: Avengers : Endgame (2019), Senjata Pamungkas MCU

Jika Amerika punya The Avengers dan Justice League, maka Indonesia juga punya grup Jawara, Patriot dan Satria Nusantara

Figur Gundala tergabung dalam grup Patriot, berdasarkan komiknya.

Gundala mengisahkan tentang Sancaka yang sejak kecil ditinggal mati ayahnya akibat bentrokan buruh pabrik dengan aparat.

Sedangkan sang ibu tidak pernah kembali saat ia ditinggal sendirian di dalam rumah. 

Sancaka akhirnya pergi meninggalkan rumah, menjalani hidup keras di jalanan, hingga suatu saat ditolong oleh Awang yang mengajari nya ilmu bela diri.

Kini, Sancaka (Abimana Aryasatya) dewasa bekerja sebagai seorang sekuriti dan tinggal sendiri di rumah susun.

Suatu hari, ia menolong tetangganya bernama Wulan (Tara Basro) dan adiknya dari ancaman para preman.

Beberapa saat kemudian, Sancaka mendapatkan kekuatan misterius saat ia disambar petir, bahkan setelah ia hampir mati oleh para preman itu.

review film gundala
Legacy Pictures, Screenplay Films

Sancaka mengetahui bahwa Wulan beserta para pedagang pasar berusaha menyatukan diri untuk melawan para preman yang selalu memeras mereka.

Para preman tersebut diatur oleh salah satu anggota legislatif.

Sementara sebagian anggota legislatif lainnya, yakni Ridwan Bahri (Lukman Sardi) tidak menyukai kehadiran Pengkor (Bront Palaere).

Niat jahat Pengkor untuk menguasai rakyat semakin nyata, melalui sejumlah trik kotor dan kejam.

Selama dua jam tayang, film Gundala bukanlah tipe superhero klise yang sarat aki laga megah dan keseruan semata.

Narasi yang dikembangkan Joko Anwar terhadap adaptasi komik Gundala, lebih kompleks dan cenderung bergaya satir terhadap isu sosial dan politik.

Meski demikian, film ini tidak seberat film bermuatan sosial-politik yang biasa diadatpasi dari DC Comics.

Bermula dari masa kecil Sancaka dalam potret kehidupan keluarga menengah kelas buruh, digambarkan melalui kesuraman serta ketidakadilan kelas menengah.

Mereka bertekad melawan sang pemilik pabrik bergaya otoriter dalam dunia kapitalisme.

ulasan film gundala
Legacy Pictures, Screenplay Films

Kemudian perjalanan Sancaka masa kecil yakni kepahitan ditinggal sang ibu, kerasnya kehidupan jalanan, seta perundungan.

Hal itulah yang menjadi motivasi Sancaka melawan penindasan terhadap kaum lemah, lewat ilmu bela diri dari figur Awang, sahabatnya.

Sancaka dewasa pun mengalami hal serupa yang terulang, saat bertemu dengan Wulan serta konforntasi dengan Pengkor yang menyalahgunakan kekuasaan. 

Jika boleh dibilang, Gundala adalah film superhero dengan satir tajam tentang kapitalisme, tirani, kekuasaan, penindasan, serta perundungan.

Narasi cerdas Joko Anwar, mampu berbicara terhadap polemik yang terjadi di negeri ini, melalui kepahlawanan Gundala melawan ketidakadilan.

Kisah masa kecil Sancaka diperankan dengan baik oleh Muzzaki Ramdhan, sayangnya terlalu menghabiskan waktu sekira setengah jam, terlalu lama!

Ada adegan yang cukup lamban, sesaat sebelum Sancaka pergi meninggalkan rumah atau saat ia dihajar anak-anak lain, meski proses persahabatan dengan Awang cukup impresif.

sinopsis film gundala
Legacy Pictures, Screenplay Films
 
Akibatnya, Gundala kurang memberikan ruang cukup untuk pengembangan karakter dan psikologis signifikan Sancaka dewasa. 

Berbagai hal seputar sambaran petir misterius, juga koneksi terkati dengan sejumlah figur lain.

Mungkin salah satu dialog dengan Wulan yang mengungkap masa lalu Sancaka, cukup mengena. 

Namun ikatan yang dibangun diantara mereka, kurang terasa, malah figur adiknya Wulan yang masih bocah cukup menarik perhatian melalui beberapa humor sinis.

Pengkor yang diperankan Bront Palarae terlihat meyakinkan sebagai antagonis kejam yang cenderung psikopat, sekilas mengingatkan akan Two-Face atau Freddy Krueger.

Seperti biasa, Lukman Sardi yang memerankan Ridwan Bahri begitu karismatik, namun karakterisasi nya mudah ditebak arah cerita dan peranan selanjutnya.

Melalui sinematografi modern, sejumlah setting yang dipadukan dengan adegan, sorotan akan sudut dan pergerakan kamera termasuk pencahayaan, terlihat memuaskan.

Hanya saja beberapa tingkat pewarnaan dalam sejumlah adegan tertentu, agak berlebihan alih-alih menghadirkan nuansa dramatis.

gundala sang putra petir dalam satir
Legacy Pictures, Screenplay Films, Bumi Langit
 
Penggunaan kamera shaky yang pas di setiap adegan perkelahian, secara tak disangka bisa dinikmati serta realistis, meski aksi pertarungan Sancaka sedikit kurang seru.

Terdapat beberapa adegan intens dengan menghadirkan aura misterius dan sedikit suspens, tanpa ada score yang mengiringi, mampu menghanyutkan untuk larut dalam alur cerita. 

Itulah salah satu kehebatan Joko Anwar dalam menyisipkan elemen supranatural terhadap karakterisasi dalam Gundala, serta gambaran suram adegan kilas balik masa lalu Pengkor.

Untung saja hal tersebut diselingi humor dalam adegan dan dialog lainnya. 

Baca juga: Gempuran Film Superhero di Jaman NOW

Gundala merupakan sebuah terobosan penting bagi kebangkitan film superhero Indonesia, bernagkat dari template yang telah dilakukan oleh film DC maupun Marvel.

Pengembangan narasi Gundala mampu diwujudkan, berpijak pada akar kuat narasi cerita merubah identitas kultur modern, melalui satir cerdas terhadap isu sosial dan politik saat ini.

Film Gundala cenderung sebagai perkenalan awal munculnya Sang Putra Petir, meski sejumlah kekurangan begitu menggantung tanggung. 
     

Itulah sinema aksi laga superhero review Gundala dalam Jagat Sinema Bumilangit kembalinya sang Putra Petir dalam sebuah satir.

Score : 3 / 4 stars

Gundala | 2019 | Superhero, Aksi Laga, Petualangan | Pemain: Abimana Aryasatya, Tara Basro, Bront Palarae, Ario Bayu, Rio Dewanto, Marissa Anita, Cecep Arif Rahman, Asmara Abigail, Hannah Al Rashid, Putri Ayudya | Sutradara: Joko Anwar | Produser: Sukhdev Singh, Wicky V. Olindo, Bismarka Kurniawan | Penulis: Berdasarkan karakter ciptaan Hasmi. Naskah: Joko Anwar | Musik: Aghi Narotama, Bemby Gusti, Tony Merle | Sinematografi: Ical Tanjung | Distributor: Legacy Pictures, Screenplay Films | Negara: Indonesia | Durasi: 123 Menit

Comments