Rambo: Last Blood (2019), Saatnya Kembali Lebih Manusiawi

rambo last blood kembali lebih manusiawi
Lionsgate

Rambo kembali menjalani hidup normal dan lebih manusiawi!

Sinema aksi laga review Rambo: Last Blood, saatnya kembali lebih manusiawi.

Rambo: Last Blood adalah sekuel terakhir First Blood (1982), petualangan John Rambo yang semakin menua dan setidaknya kembali lebih manusiawi.

Narasi Rambo: Last Blood menandakan kembalinya John Rambo sebagai warga biasa, bukan mesin perang belaka.

Sebelas tahun sejak sekuel terakhir yakni Rambo (2008) dan dua puluh tujuh tahun sejak First Blood dirilis, tampak Sylverster Stallone tidak pernah kapok kembali menjadi Rambo.

Kakek keren berusia 73 tahun tersebut, masih sanggup untuk terus bersaing dengan rival abadi, Arnold Schwarzenegger yang kebetulan kembali dalam Terminator: Dark Fate.

Dirilis dalam waktu berdekatan, kedua film tersebut merupakan waralaba ikonik melalui performa dua bintang aksi laga yang mendominasi di era 1980’an.

Adapun figur Rambo melalui film terakhir Rambo: Last Blood, merupakan salah satu antisipasi penting bagi penggemar di tahun ini.

Film pertamanya, First Blood (1982) adalah yang terbaik dan favorit bagi saya, begitu manusiawi, tidak seperti di kedua sekuel berikutnya yang tekesan sebagai laga belaka.

Baca juga: First Blood (1982) : Pertumparan Darah Akibat Kesalahpahaman

Seri keempat di tahun 2008 terlalu brutal dan berdarah layaknya permainan konsol dewasa.

Maka hingga film terbarunya ini Rambo: Last Blood. saya tidak berani melakukan spekulasi terhadap elemen apa yang bisa diunggulkan.

Ekspektasi saya adalah gaya yang bakal dimainkan adalah seperti First Blood

Rambo: Last Blood mengisahkan John Rambo (Sylverster Stallone) kembali menuju kampung halaman di Amerika Serikat, setelah peristiwa di film sebelumnya.

review film rambo last blood
Lionsgate
 
Ia kini hidup tenang di sebuah rumah berupa ranch yang luas.

Ia pun sesekali menjadi sukarelawan dalam membantu petugas otoritas dalam mencari orang yang tersesat di hutan.

John Rambo tinggal dengan Adriana (Maria Beltran) yang mengurusi ranch-nya, serta seorang keponakan angkat bernama Gabrielle (Yvette Monreal).

Gabrielle rencana nya akan melanjutkan kuliah ke kota besar.

Suatu hari, Gabrielle mengungkapkan kepada John Rambo, bahwa ia akan pergi ke Meksiko, setelah mengetahui keberadaan sang ayah kandung.

Meski John Rambo melarangnya karena masa lalu yang kelam, namun Gabrielle nekat pergi diam-diam.

Lalu apa yang terjadi di Meksiko merupakan awal peristiwa buruk bagi Gabrielle saat terjebak oleh pemimpin kriminal kejam bernama Hugo Martinez (Sergio Peris-Mencheta).

Hal tersebut memicu John Rambo turun tangan untuk menyelamatkan Gabrielle, sekaligus memerangi mereka.

Sylvester Stallone tahu persis bagaimana cara "mengakhiri" waralaba Rambo, mengingat berbagai pertimbangan dan kemungkinan di masa depan.

Salah satu pemicu nya mungkin faktor usia yang saya rasa cukup disudahi saja.

Dari judulnya saja, meski memakai kalimat “Last Blood" bisa jadi sebagai penutup manis dari perjalanan veteran perang tangguh mematikan tersebut.

Bersama dengan penulis Dan Gordon, Sylvester Stallone mampu membawakan kembali rasa orisinal seperti di film First Blood

Dalam seperempat cerita awal, adegan didominasi nuansa drama dengan alur yang tenang dan stabil.

John Rambo yang sudah semakin uzur diperlihatkan masih memiliki kondisi fisik cukup prima ala prajurit tangguh, dan kini hidup tenang bersama dengan keluarganya.

ulasan film rambo last blood
Lionsgate

Bagaimana dalam adegan terkait aktivitasnya sehari-hari, sungguh menenangkan serta 
menyejukan rasa.

Dialognya John Rambo dengan Gabrielle sambil berkuda dengan latar berupa landskap menjelang matahari terbenam ala Wild West di bagian selatan Amerika, sungguh impresif.

Film Rambo kali ini mengingatkan saya akan sejumlah film aksi laga thriller terhadap figur badass pria tua ala Clint Eastwood di era 2000'an atau Charles Bronson di era 1990'an.

Di film ini, John Rambo tidak lagi berperang di hutan dan mengembara ke berbagai tempat asing, namun kehidupannya sudah stabil dan bahagia.

Bagaimana pun juga, ia masih menyimpan berbagai artefak militer yang mnejadi sebuah "hobi" bagi dirinya dalam sebuah basement.

Ritme yang dibangun secara perlahan dalam 
Rambo: Last Blood, melalui berbagai adegan terasa begitu meyakinkan.

Hal itu bermula saat Gabrielle mulai termakan jebakan, ancaman pertama Rambo terhadap salah satu figur antagonis, hingga pengintaian di rumah bordil.

Akhirnya sampai pada sebuah adegan konfrontasi John Rambo yang dikepung oleh kelompok Martinez.

Namun tidak seperti empat film sebelumnya, saat John Rambo mulai terjun memerangi musuh, justru film ini lebih menekankan pada elemen drama thriller.

Adapun babak ketiga di bagian akhir jelas terdapat aksi laga meriah.

Aspek emosional pun tampaknya ditekankan melalui hubungan John Rambo dan Gabrielle seperti layaknya hubungan ayah-anak.

Meskipun demikian tidak sebaik saat dialog menggebu dalam adegan akhir dalam First Blood, mengingat faktor usia yang merujuk kestabilan emosi.

Baca juga: Review : 3 Sekuel 'Rambo' 

Hal ini menjadi semakin menarik, saat John Rambo yang memang memasuki masa pensiun, hidup tenang serta memiliki keluarga angkat, semakin manusiawi. 

Transisi psikologis dan gayanya kembali sebagai seorang manusia biasa, ditumpahkan melalui dialog terbanyak dari figur Rambo sendiri sepanjang waralaba-nya itu.

Bukan John Rambo namanya jika tidak ada aksi laga mumpuni! 

Karakternya sebagai mesin perang tangguh sekaligus pengidap PTSD (Post-traumatic Stress Disorder) kembali terpicu, membangkitkan sisi gelap yang mematikan.

sinopsis film rambo last blood
Lionsgate
 
Aksi pertama John Rambo begitu terasa, akan atmosfir berbagai gerakan dengan gaya laga old school badass, saat ia hendak menyelamatkan Gabrielle.

Lalu adegan puncak juga begitu epik, melalui berbagai kejutan dalam adegan flick yang meriah saat ia berusaha membantai seluruh pasukan Martinez.

Film Rambo: Last Blood tentu saja tanpa meninggalkan elemen kekerasan berdarah khas film Rambo, meski level nya sedikit diturunkan serta tidak terlalu kena ekspos.

Setidaknya film ini masih bisa dinikmati dan terlihat lebih rapih ketimbang CGI yang kentara dari film sebelumnya.

Sayangnya tema musik Rambo tidak sepenuhnya dilantunkan oleh Brian Tyler mulai dari awal hingga kredit penutup yang diisi oleh rangkaian montase dari empat film sebelumnya.

Baca juga: Revenge (1990) : Perselingkuhan, Kehormatan dan Balas Dendam

Rambo: Last Blood berhasil kembali memanusiakan figur Rambo kembali ke asalnya, melalui dramatisasi dalam hubungan antar figur, serta aksi laga yang seimbang.

Hanya saja kembali hadirnya elemen kekerasan ekstrim masih eksis sebagai bumbu penyedap yang cukup perih.

Anda jangan mengharapkan film ini sebagai peperangan belaka, melalui berbagai adegan laga megah, mengingat opa Rambo tidak se-prima dahulu kala. 

Justru Rambo: Last Blood merupakan momen terpenting terhadap narasi John Rambo yang kembali manusiawi, sekaligus diharapkan sebagai seri pamungkas yang jitu.

Jika First Blood adalah yang pertama, maka seharusnya Rambo: Last Blood adalah yang terakhir.

Demikian sinema aksi laga review Rambo: Last Blood, saatnya kembali lebih manusiawi.

Score: 3 / 4 stars

Rambo: Last Blood | 2019 | Aksi Laga, Petualangan | Pemain: Sylvester Stallone, Paz Vega, Sergio Peris-Mencheta, Adriana Barraza, Yvette Monreal, Joaquin Cosio, Oscar Jaenada, Maria Beltran | Sutradara: Adrian Grunberg | Produser: Avi Lerner, Steven Paul, Kevin King Templeton, Les Weldon | Penulis: Berdasarkan karakter karya David Morell. Ditulis ulang oleh Dan Gordon dan Sylvester Stallone. Naskah: Matt Cirulnick, Sylvester Stallone | Musik: Brian Tyler | Sinematografi: Brendan Galvin | Distributor: Lionsgate | Negara: Amerika Serikat  | Durasi: 99 Menit

Comments