Blade Runner (1982) : Dampak Penciptaan 'Manusia'

blade runner dampak penciptaaan manusia
Warner Bros Pictures

Diadaptasi dari novel Do Android Dream of Electric Sheeps? karya Philip K. Dick, film Blade Runner merupakan salah satu film fiksi ilmiah terpenting sekaligus paling berpengaruh sepanjang masa.

Selain Blade Runner, dari beberapa film yang diadaptasi dari novel K. Dick lainnya, hanya dua yang sukses, yakni Total Recall (1990) dan Minority Report (2001).

Sepertinya novel fiksi ilmiah karya K. Dick tidak mudah untuk sembarang diadaptasi, mengingat gaya penceritaannya yang cukup kompleks. Meski hanya menjadi sleeper hit, film Blade Runner berstatus cult dan banyak dipuji oleh kritikus, sehingga masuk dalam daftar United States National Film Registry, setelah sebelumnya mendapat nominasi Oscar.

Khususnya bagi generasi masa kini, banyak yang tidak mengetahui bahwa film Blade Runner 2049 (2017) merupakan sekuel dari film ini, sekaligus terkecoh akan gambar pada posternya di kedua film itu, yang tampak seperti film action.

Saya pun dulu sempat 'tertipu' oleh posternya sebelum nonton film ini, apalagi Harrison Ford sebelumnya main di film epik petualangan laga seprti Star Wars dan Indiana Jones.

Baca juga: Blade Runner 2049 (2017) : Jati Diri yang Dipertanyakan

Blade Runner sejatinya merupakan fiksi ilmiah thriller bertemakan futuristik dalam era dystopian, ketika manusia berhasil menciptakan android yang memiliki kecerdasan artifsial dan diproduksi massal, untuk dijadikan pekerja di planet lain, sebagai ekspansi koloni umat manusia selain di Bumi.

Konflik yang terjadi di film ini, kembali mempertanyakan dampak penciptaan 'manusia' oleh manusia itu sendiri.

Dikisahkan di 2019, android yang disebut replicant tersebut, diproduksi oleh Tyrell Corporation. Namun replicant dari generasi Nexus 6 bernama Roy Batty (Rutger Hauer) bersama dengan kelompoknya, melakukan pemberontakan dan menjadi buronan. Mereka disinyalir kembali ke bumi untuk memburu pemilik Tyrell Corporation.

Maka dibentuklah tim khusus untuk mengeliminasi mereka, yakni Unit Blade Runner. Salah satu agen terbaiknya, Rick Deckard (Harrison Ford) di Los Angeles, mendapat tugas tersebut. Namun ketika Deckard bertemu dengan Rachael (Sean Young), lalu berkonfrontasi dengan Batty, ia pun mulai mempertanyakan situasi di sekitarnya.

review film blade runner
Warner Bros Pictures

Saya telah memiki perasaan tidak enak, semenjak kredit pembuka digelar, lalu dalam adegan awal telah terasa lambat, hingga akhirnya rasa kantuk mulai menggoda. Akan tetapi saat itu saya paksakan hingga kredit penutup.

Beberapa tahun kemudian, saya menyadari bahwa sesungguhnya film Blade Runner adalah drama thriller futuristik bergaya neo-noir, tentang perburuan Deckard terhadap kelompok Batty.

Pantas saja, disajikan melalui tempo yang lambat, nuansa suram cenderung gelap karena kebanyakan adegannya berada dalam suasana malam yang mendung dan hujan di tengah kota, suasana melankolis dramatis, serta dijejali oleh banyak dialog.

Meski premis ceritanya sangat sederhana, namun nilai filosofinya begitu dalam dan bermakna. Karakter Batty sebagai Artificial Intelligence dari replicant versi terbaru, ternyata mampu beradaptasi, berkembang serta banyak belajar untuk menjadi manusia seutuhnya.

Batty masih penasaran dan menyimpan banyak pertanyaan seputar eksistensi jati diri dan tujuan hidupnya saat mendatangi penciptanya sendiri, yakni Eldon Tyrell dan sempat berdialog dengan Deckard saat mereka berkonfrontasi, sehingga kita mempertanyakan : 

Sesempurna apa manusia bisa menciptakan 'manusia' (dalam hal ini, replicant)? Dan apa dampaknya? Sisi emosi, empati, perasaan, perilaku dan bahkan mungkin jiwa yang terkandung dalam diri Batty, sulit dibedakan dengan manusia.

Baca juga: Alita: Battle Angel (2019), Sisi Manusiawi dan Emosional Cyborg

Perbedaannya dengan replicant lain, bahwa Batty memiliki karakter sebagai replicant yang murka, kecewa, dendam serta mungkin menyesal, untuk apa ia diciptakan, mampukah ia hidup berdampingan dengan manusia? Sisi manusiawinya nyata, namun tidak sesuai dengan kekejaman tindakannya.

Ironisnya, justru karakter Batty-lah yang diperankan secara brilian dan berkarisma oleh Rutger Hauer, yang mampu mencuri perhatian paling besar di film ini. Batty bukanlah semata-mata sebagai sosok antagonis klise, meski kerapkali menggunakan kekerasan dan pembunuhan sebagai solusi bagi dirinya, sehingga menjadi ancaman.

Sedangkan karakter Deckard yang diperankan Harisson Ford, masih mampu mengimbanginya melalui pengalaman ambigu surealis setelah bertemu dengan Racahel, dalam perjalanan investigasinya memburu kawanan Batty, mengakibatkan sejumlah argumen yang mempertanyakan apakah Deckard sesungguhnya manusia atau replicant.

dampak penciptaaan manusia film blade runner
Warner Bros Pictures
 
Akting menawan lainnya yakni Sean Young sebagai Rachael, seorang asisten Eldon Tyrell, tampak sebagai sosok yang rapuh dan kecewa dibalik penampilannya yang dingin namun mempesonakan.

Ada pula karakter Gaff yang Edward James Olmos sebagai sosok polisi misterius, stylish dan kadang terkesan kocak. Sedangkan karakter Sebastian sebagai desainer mainan juga tak kalah uniknya.

Gaya penyutradaraan Ridley Scott di film ini memang pas, seperti gayanya di film Alien (1979), dengan kombinasi drama thriller bertempo lambat, yang sesekali diselingi kekerasan berdarah saat Batty membunuh Eldon Tyrell.

Hingga akhirnya pada puncak cerita dalam babak ke-3, mulai mendebarkan dan begitu intens saat Deckard berduel dengan Batty, yang berakhir secara mengejutkan sekali!

Aspek visual dan sound di film ini merupakan salah satu yang terbaik sepanjang masa. Bagaimana penggambaran akan kemegahan kota megapolitan futuristik secara detail, mengingatkan saya akan keindahan visual ala 2001: A Space Odyssey (1968) atau Star Wars (1977).

Bagaimana kamera menyorot landskap perkotaan dari udara, lengkap dengan berbagai kepulan asap dari cerobong industri, gemerlap banyak lampu diantara gedung tinggi, lalu lintas di udara, hingga susasana matahari terbenam di gedung Tyrell Corporation saat Deckard pertama kali berjumpa Rachael.

Bahkaniklan mengudara produk Jepang yang memeriahkan berbagai neon box raksasa yang terpampang pada gedung, sungguh menakjubkan kala itu.

Semua set desain saat itu, murni menerapkan efek praktis, melalui miniatur dan painting matte, bukan CGI belaka. Dan yang menariknya, miniatur perkotaan megah itu, hasil modifikasi setelah digunakan dalam film Escape from New York (1981).

Baca juga: Metropolis (1927): Figur Mediator Dua Dunia

Visual yang begitu fantastis itu, berbanding lurus dengan sound yang begitu mengarahkan emosi audiens dalam berbagai adegan di sepanjang cerita, berkat komposisi brilian dari Vangelis, terlebih akan tema musiknya pada kredit penutup.

Film Blade Runner sejatinya mempertanyakan dampak penciptaan 'manusia', apakah bisa menjadi manusiawi, yang akhirnya berujung kepada dua pilihan : baik atau buruk.


Jauh dari kata menghibur, film ini menyampaikan pesan yang terdalam dan bermakna akan prediksi masa depan, terhadap ambisi dan kekuasaan.

Score : 3.5 / 4 stars

Blade Runner
| 1982 | Fiksi Ilmiah, Drama, Thriller | Pemain: Harrison Ford, Rutger Hauer, Sean Young, Edward James Olmos, M. Emmet Walsh | Sutradara: Ridley Scott | Produser: Michael Deeley | Penulis: Berdasarkan novel Do Android Dream of Electric Sheeps? karya Philip K. Dick. Skenario:
Hampton Fancher, David Peoples | Musik: Vangelis | Sinematografi: Jordan Cronenweth | Distributor: Warner Bros Pictures | Negara: Amerika Serikat | Durasi: 117 Menit

Comments