American Psycho (2000): Horor Slasher Psikologis dalam Hedonisme
![]() |
Lionsgate, Columbia Pictures |
“I think my mask of sanity is about to slip.”
Sinema horor review American Psycho, film slasher psikologis dalam balutan hedonisme.
Dunia kelas atas bergaya hedonisme, menyimpan banyak sisi paling gelap di dalamnya, termasuk pembunuhan yang terjadi dalam American Psycho.
Perlu waktu lebih dari 20 tahun hingga akhirnya saya menyempatkan diri menyaksikan sebuah film horor slasher yang jauh dari dugaan awal.
Setelah menonton American Psycho, barulah saya memahami betul, mengapa film ini bersatus cult classic dan bahkan sempat dibuatkan figurinnya produksi NECA Toys saat itu.
Nama Christian Bale sebagai aktor papan atas mulai diperhitungkan sejak kesuksesan filmnya yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Brett Easton Ellis, berawal dari penayangan perdana di Sundance Film Festival.
Kisah film American Psycho mengambil waktu di era 80’an, tentang seorang eksekutif muda Patrick Bateman (Christian Bale) telah bertunangan dan dikelilingi lingkungan dengan gaya hidup hedonisme.
Patrick sendiri tidak pernah menyukai hampir semua teman yang sekaligus adalah rekan kerja sesama eksekutif.
Sebagai pria metroseksual, ia selalu merawat diri secara rutin dan sering mengadakan kegiatan dengan beberapa rekan kerja di sejumlah tempat makan dan klub kelas atas.
Terpicu dengan adu pamer kartu nama dengan sesama rekan, terutama Paul Allen (Jared Leto), Patrick di malam harinya membunuh seorang gelandangan.
Kemudian ia mengatur rencana agar bertemu dengan Allen dan melakukan pembunuhan dengan cara unik.
Ia pun segera membuat alibi, sesaat setelah membuang jenazah Allen ke suatu tempat.
![]() |
Lionsgate, Columbia Pictures |
Seorang detektif bernama Donald Kimball (Willem Dafoe) beberapa kali berkunjung untuk menanyakan peristiwa itu kepada Patrick, terkait investigasi Allen yang hilang misterius.
Maka kisah selanjutnya adalah berbagai perisiwa yang ia alami, termasuk upaya pembunuhan berikutnya.
Emosi Patrick terpicu dengan berbagai hal tentang kompetisi, kesombongan dan adu gengsi, harga diri, maupun kelas sosial termasuk moralitas serta kepantasan.
Tak disangka film American Psycho ternyata menarik atensi saya saat larut sejak adegan pertama hingga tak puas dengan akhir ceritanya, sejak semula tidak ada ekspektasi apapun.
Diiringi dengan narasi yang disuarakan karakter Patrick Bateman sendiri sebagai figur sentral film ini, mampu membawa audiens menikmati kehidupan hedonisme kelas atas.
Kelainan jiwa Patrick Bateman mulai muncul saat ia berdialog dengan nada mengancam kepada seorang bartender di sebuah klub malam, hanya gara-gara pembayaran dengan uang tunai.
Tapi yang membedakan penceritaan film American Psycho dengan yang lainnya yakni ketidakjelasan aksi Patrick Bateman sepanjang cerita, sementara penekanan dari sisi psikologis dirinya itulah yang menjadi kunci permasalahan cerita.
Namun bukan berarti film ini menjadi berat karena eksploitasi psikologis seseorang dalam berbagai ekspresi dan tindakan Patrick Bateman.
![]() |
Lionsgate, Columbia Pictures |
Malah kisahnya disajikan secara menarik baik melalui dialog segar maupun adegan seru sekaligus intens.
Tentu saja terdapat tiga monolog Bateman yang saya rasa ikonik, sebelum ia melakukan pembunuhan maupun penganiayaan, mengenai referensi akan budaya populer tentang musik.
Pertama adalah bagaimana ia memutar lagu “Hip to be Square” yang dibawakan Huey Lewis and the News, sambil menjelaskan latar belakang dan ulasannya kepada karakter Allen.
Bateman pun diam-diam sembari terus berbicara tentang hal tersebut, memakai jas hujan dan mengambil sebuah kapak besar!
Kedua yakni menjelaskan beberapa lagu Phil Collins dan Genesis kepada kedua orang pelacur, sebelum Bateman melakukan threesome lalu setelahnya menganiaya mereka.
Film American Psycho dalam beberapa adegan lainnya dipenuhi dengan soundtrack akan lagu-lagu populer era 80’an.
Sedangkan yang ketiga merujuk pada lagu Whitney Houston “Greatest Love of All”, namun sayangnya hanya versi instrumental.
Sejumlah adegan menegangkan yang selalu berakhir dengan pembunuhan, diiringi dengan scoring bernuansa ala klasik dari John Cale, berkesan seperti horor klasik seperti Psycho (1960) misalnya.
![]() |
Lionsgate, Columbia Pictures |
Bahkan dalam adegan klimaksnya yang terjadi di malam hari pun, berlangsung cukup meriah dan mengejutkan, bergaya cukup ambigu dan sedikit “menyesatkan”, seperti yang saya temui dalam film After Hours (1985).
Ternyata tidak ada adegan pembunuhan sadis yang diperlihatkan secara eksplisit atau eksploitatif, sehingga dapat dinikmati terhadap adegan pembunuhan yang standar.
Naskah cerdas American Psycho ditunjang dengan performa gemilang Christian Bale sebagai aktor yang saat itu belum populer.
Hebatnya Bale sebagai seorang aktor Inggris, mampu menyembunyikan aksen sebagai figur seorang Amerika.
Film ini pantas saja menjadi kultus klasik sebagai salah satu horor slasher psikologis berkualitas dan menarik untuk ditonton.
Cukup ringan namun berbobot, menghibur dalam selingan humor namun tajam akan gejolak kejiwaan seseorang.
Demikian sinema horor review American Psycho, film slasher psikologis dalam balutan hedonisme.
Score: 3 / 4 stars
American Psycho | 2000 | Drama, Horor, Psikologi | Pemain: Christian Bale, Willem Dafoe, Jared Leto, Josh Lucas, Samantha Mathis, Chloë Sevigny, Reese Whiterspoon | Sutradara: Mary Harron | Produser: Edward R. Pressman, Chris Hanley, Christian Halsey Solomon | Penulis: Berdasarkan novel American Psycho karya Brett Easton Ellis. Naskah: Mary Harron, Guinevere Turner | Musik: John Cale | Sinematografi: Anderzej Sekula | Distributor: Lions Gate Films, Columbia Pictures | Negara: Kanada, Amerika Serikat | Durasi: 101 Menit
Comments
Post a Comment