Martin (1978): Eksploitasi Psikologis Seorang Vampir

martin eksploitasi psikologis vampir
Libra Films International

They’re beast we’ve created in order to exorcise the monster from within us …
George A. Romero

Sinema horor review film Martin tentang e
ksploitasi psikologis seorang vampir.

Nama besar sineas George A. Romero identik dengan sosok zombie pada generasi awal hingga beberapa dekade ke depan. 

Filmografi Romero tidak hanya bermain genre horor saja yang ia garap, namun berbagai varian lain seperti thriller dan drama, serta fiksi ilmiah. 

Eksploitasi adalah elemen yang biasanya selalu ia sertakan di berbagai film yang ia tulis sendiri.

Di tahun 1977 dalam Cannes Festival, film berjudul Martin yang ia tulis dan sutradarai sendiri diputar, hingga setahun kemudian didistribusikan melalui bioskop secara terbatas. 

Sineas Dario Argento mendistribusikan film tersebut di Eropa dengan judul Wampyr.

Ketika dirilis dalam format video, film tersebut sempat menjadi kontroversi di Inggris, gara-gara dicap sebagai video nasty dan kini berstatus cult classic.

Film yang mengisahkan drakula atau vampir selalu diproduksi di setiap dekade, mulai dari tema klasik hingga modern. 

Monster berdasarkan legenda Transylvania tersebut biasanya digambarkan begitu gamblang dan klise.

Hal itu diwujudkan bagaimana vampir memiliki taring, warna mata berubah, tidak memiliki bayangan, takut akan salib, air suci dan bawang, serta tentunya gemar minum darah korban.

Martin mengisahkan seorang remaja introvert dari Indianapolis bernama Martin Mathias (John Amplas) tiba di 
Pittsburgh menggunakan kereta.

Ia dijemput kakeknya bernama Tateh Cuda (Lincoln Maazel), seorang pemeluk Katholik taat dan keturunan Lithuania. 

Cuda sesungguhnya enggan mengadopsi Martin, namun ia mempersilahkan Martin tinggal satu rumah bersama dengan cucunya, Christina (Christine Forrest).

Hal yang mengganjal Cuda adalah keyakinan terhadap Martin sebagai titisan vampir, dengan melarang berinteraksi dengan Christina.

Bahkan Cuda memasang bawang dan bel di pintu kamar Martin untuk proteksi.

review ulasan film horor martin
Libra Films International

Cuda juga memanggilkan seorang Pastur untuk mengusir roh jahat yang ada dalam diri Martin. 

Sementara Martin sendiri yang merasa kesal terhadap Cuda, meyakininya bahwa ia bukanlah sosok vampir.

Meski demikian, antara segala tindakan mengejutkan Martin sulit dibedakan antara realita dengan delusi, apakah ia memang vampir atau manusia biasa.

Jika anda menyukai film-film vampir namun merasa bosan dengan aksi klasiknya, maka film Martin merupakan hal yang berbeda, dan jauh dari apa yang kita bayangkan. 

Dari awal cerita, audiens disuguhkan sebuah adegan yang ambigu, saat Martin telah menargetkan korban berupa wanita yang menggoda.

Adegan tersebut cukup mengganggu, terutama kucuran darah meski tidak brutal, namun dengan gaya yang berbeda dari film vampir standar.. 

Metode yang digunakan Martin dalam aksinya terhadap korban, cukup unik dan lumayan sadis, hingga terasa ngilunya. 

Bagaimanpun juga level sadisnya film ini, jauh lebih ringan daripada film zombie-nya Romero sendiri.

Figur Martin bukanlah seperti vampir yang selalu haus akan darah dan menghabisi korban yang berinteraksi dengannya.

Ia bukan tipe vampir yang tidur seharian dan keluyuran di malam hari. 

Martin digambarkan sebagai sosok remaja atau pria muda normal umumnya, dan bahkan membantu Cuda di toko kelontongnya.

Sebagai remaja yang memiliki memiliki tekanan psikologis, Martin mengalami hal yang bersifat surealis.

Alur cerita yang ditulis Romero sendiri, sulit untuk ditebak saat Martin berjumpa dengan seorang wanita kesepian yang telah beristri namun sulit untuk mendapatkan anak.

Audiens mungkin menebak, apakah wanita itu menjadi korban Martin berikutnya.

Selain itu juga ada adegan kejutan, saat Martin hendak menyerang seorang wanita dengan selingkuhannya.

sinopsis alur film horor martin
Libra Films International

Film ini tidak memberikan petunjuk akan jenis korban tertentu yang diincar Martin, meski tampaknya ia menyukai wanita yang lebih tua darinya.

Alurnya sulit terbaca dan terkadang mengarah kepada jalur lain yang malah lebih menarik.

Elemen psikologis memang sangat mendominasi di sepanjang cerita film, saat Martin sempat curhat kepada seorang penyiar radio akan kegelisahan dan berbagai perbuatannya itu.

Adapun visi yang ia alami terkait masa lalunya, terkesan sebagai pengidap amnesia karena ia yakin bahwa ia sudah berusia lanjut.

Sejumlah adegan diperlihatkan dalam format monokrom dalam arti sebagai visi yang dialami Martin.

Adegannya saat Martin tiba di rumah Cuda, lalu saat ia didatangi Pastur yang melakukan eksorsisme, serta saat dirinya sedang mendatangi seorang wanita muda di sebuah rumah lalu dikejar-kejar oleh penduduk.

Performa John Amplas yang berperan sebagai Martin mampu membawakannya dengan baik dan mengambil simpati audiens.

Puncaknya terdapat di adegan akhir film, karena saya tidak pernah tahu filmnya akan berakhir dalam adegan apa.

Begitu pula dengan Lincoln Maazel sebagai Cuda yang paranoid dan terobsesi terhadap Nosferatu dalam sosok Martin yang dianggap fantasi oleh Christina. 

Artis efek spesial Tom Savini yang pertama kalinya bekerjasama dengan Romero, kebagian peran kecil sebagai Arthur di film ini.

Martin saya rasa sebagai salah satu eksploitasi brilian karya Romero dalam memperlakukan legenda vampir terhadap psikologi karakter yang tidak biasa.

Film ini mmapu menyajikan motif yang ambugu, sefrta identitas yang mengaburkan antara realita dengan delusi.

Apakah karakter Martin memang dirasuki oleh sosok vampir Nosferatu, mengidap kelainan jiwa atau memiliki penyakit langka yang doyan meminum darah?

Rupanya Romero ingin menyampaikan drama vampir ringan dan terkadang membosankan, namun mampu bermain di area abu-abu.


Martin menimbulkan multi intrepetasi terhadap fanatisme agama, penyimpangan moral dan kriminalitas ataupun malah perjalanan batin yang gelisah.

Itulah sinema horor review film Martin tentang eksploitasi psikologis seorang vampir.

Score : 3 / 4 stars

Martin | 1978 | Drama, Psikologi, Horor | Pemain: John Amplas, Lincoln Maazel, Christine Forrest, Elayne Nadeau, Tom Savini | Sutradara: George A. Romero | Produser: Richard P. Rubinstein | Penulis: George A. Romero | Musik: Donald Rubinstein | Sinematografi: Michael Gornick | Distributor: Libra Films International | Negara: Amerika Serikat | Durasi: 95 Menit

Comments