Breakfast at Tiffany’s (1961) : Komedi Romantis Ikonik
Film Breakfast at Tiffany’s adalah salah satu komedi romantis klasik dan ikonik, berdasarkan adaptasi novel dengan judul yang sama karya Truman Capote.
Film yang dibintangi oleh Audrey Hepburn dan disutradarai oleh Blake Edwards tersebut, sangat berpengaruh untuk genre sejenis dalam generasi berikutnya, termasuk akan performa, serta penampilan dari karakter utamanya yang menjadi bagian dari pop culture.
Film ini mengisahkan Holly (Audrey Hepburn), seorang wanita yang berprofesi mendampingi para pria kaya dengan bayaran mahal. Holly juga bekerja sebagai pengantar pesan dalam bentuk “Laporan Cuaca” sebagai penghubung seorang mafia bernama Sally Tomato.
Suatu hari, ia tak sengaja bertemu seorang pria bernama Paul (George Peppard), penghuni baru dalam satu apartemen. Paul tinggal bersama dengan wanita kaya yang usianya lebih tua bernama Emily (Patricia Neal), namun Paul tidak kerasan dan ingin menjadi seorang penulis.
Sementara Holly sedang mencari pasangan berupa sosok pria yang jauh lebih tua dan kaya raya. Paul sering membantu Holly dan mereka pun berteman akrab, hingga menjadi mesra.
Namun demikian mesti mereka saling tertarik dan ketika Paul menyatakan cintanya, Holly merasa enggan atas masa lalunya.
Sebuah judul karya fiksi, belum tentu menjadikan poin yang terpenting dari keseluruhan ceritanya itu sendiri.
Interpretasi saya terhadap judul film ini, yakni sebuah adegan pembuka yang ikonik di pagi hari, saat Holly keluar dari taksi yang tampaknya sepulang dari pesta. Lalu ia berdiri di depan toko perhiasan Tiffany & Co., sambil menyantap sarapan ringannya dengan memandangi sederetan perhiasan premium melalui etalase jendela.
Setelah itu, cerita berlanjut ke berbagai setting berikutnya, meski Tiffany’s & Co. merupakan salah satu kunci dari titik balik cerita menjelang akhir, maka judul cerita tersebut merupakan awal dari petualangan Holly dalam menemukan cinta sejati.
Selama hampir dua jam, penuturan gaya narasi akan kisah yang fokus terhadap dua karakternya yakni Holly dan Paul, dikemas melalui sejumlah komedi cerdas ala Edwards yang memang piawai dalam mengarahkan humor yang dipadukan dengan elemen slapstick.
Edwards sendiri memang terbiasa menangani komedi slapstick romantis semacam 10 (1979) atau Blind Date (1987), serta diluar itu tentu saja waralaba film The Pink Panther (1963-1983).
Kepiawaiannya dalam mengarahkan para aktor/aktris terutama di film Breakfast at Tiffany’s, sangat terasa untuk dinikmati bahkan di saat momen tertentu yang mencapai titik kejenuhan, mampu ditutup dengan berbagai adegan dinamis, sebuah kejutan ataupun dialog yang tidak biasa.
Kisah film ini lebih mengeksploitasi sisi intim akan hubungan ‘teman tapi mesra’ antara Holly yang ketika pertama kali bertemu dengan Paul, mengingatkan akan adiknya sendiri bernama Fred yang sudah lama tidak bertemu karena dinas militer.
Dari situlah kita bisa menduga akan latar belakang dan sisi psikologis Holly dengan masa lalu yang tertutup, sebagai seorang wanita kesepian yang selalu menyangkal dirinya sendiri dengan cara menggaet pria kaya raya, demi mengisi kekosongan hidupnya.
Rupanya Paul memiliki kondisi yang mirip, yakni ketika ia memperkenalkan Emily yang kerap disebut “Sang Dekorator” kepada Holly. Emily adalah seorang wanita paruh baya yang kaya raya, menikmati hubungan gelapnya dengan Paul yang mulai tidak nyaman dan merasa menemukan romansa sesungguhnya saat sering bertemu dengan Holly.
Sebagai seorang pria yang lebih cenderung mengandalkan nalar, Paul akhirnya bersikeras dalam menentukan karir dan nasibnya sendiri sebagai penulis tanpa menggantungkan nasibnya pada Emily.
Juga saat Paul menyatakan cintanya kepada Holly yang malah bertepuk sebelah tangan, karena hati Holly masih bersikeras pada prinsipnya sendiri dengan mengatakan:
“I’m like cat here, a no-name slob. We belong to nobody, and nobody belongs to us. We don’t even belong to each other”
Untungnya Paul adalah seorang yang memiliki kebesaran hati, namun dalam momen puncaknya ia berkata kepada Holly :
“You know what's wrong with you, Miss Whoever-you-are? You're chicken, you've got no guts. You're afraid to stick out your chin and say, "Okay, life's a fact, people do fall in love, people do belong to each other, because that's the only chance anybody's got for real happiness."
“You call yourself a free spirit, a "wild thing", and you're terrified somebody's gonna stick you in a cage. Well baby, you're already in that cage. You built it yourself. And it's not bounded in the west by Tulip, Texas, or in the east by Somali-land. It's wherever you go. Because no matter where you run, you just end up running into yourself.”
Melalui seorang pria bernama Doc-lah, Paul akhirnya mulai semakin mengenal sisi psikologis Holly terkait masa lalunya itu, yang merupakan kunci utama menuju konklusi akhir dalam cerita film.
Beberapa momen memorable antara Holly dengan Paul yang diperagakan dengan cara romantis, fun dan komedi itu pun terjadi saat mereka pergi berjalan-jalan, lalu bernegosiasi dengan penjaga toko Tiffany & Co., mengerjai petugas ke perpustakaan hingga mencoba mencuri barang di toko kelontong layaknya kenakalan anak remaja.
Selain itu juga banyak adegan komedi segar mengundang tawa, seperti dalam sebuah pesta bagaimana tingkah Holly yang terkadang ceroboh, Paul yang sedikit kewalahan menangani situasi ataupun tindakan O.J. Bermann, seorang agen Holly yang kocak.
Sedangkan salah satu adegan romantis yang mengena di film ini yakni saat Paul sedang mengetik, tiba-tiba ia mendengar Holly menyayikan lagu Moon River sambil memetik gitar. Lalu ia segera membuka jendela dan memandangi Holly yang berada di lantai bawah juga dalam posisi duduk di jendela.
Dan tentu saja ditambah adegan akhir cerita dalam keadaan hujan lebat di jalanan kota New York yang terkenal romantis itu, sambil sekali lagi diiringi lagu Moon River yang dikomposisikan oleh Henry Mancini.
Performa ikonik Hepburn sebagai Holly sangat bepengaruh dalam film ini, dengan tata rambut digulung keatas, memakai gaun ketat hitam tanpa lengan, serta tak lupa kacamata hitam dan cigarette holder yang panjang itu, tampak elegan dan seksi.
Aktingnya pun tak kalah gemilang disaat ia riang gembira, dalam keadaan mabuk serta saat sedih, sebuah karakter yang sepertinya sulit ditemui dalam film modern.
Performa Peppard sebagai Paul, hanya mengandalkan pesona medioker saja, namun yang paling menarik justru karakter orang Jepang, yakni Yunioshi yang diperankan aktor kulit putih Mickey Rooney meski selalu mengundang tawa, jelas sekali ada pemaksaan terkait “White Supremacy” dalam Hollywood.
Breakfast at Tiffany’s merupakan komedi romantis ikonik berkualitas yang mampu menonjolkan problema besar dan krisis yang dialami karakter utama akan krusialnya nilai dari sebuah hubungan, dengan kemasan komedi ringan yang penuh dengan gaya.
Sebuah tontonan yang sangat direkomendasikan untuk mengenal film komedi romantis klasik yang tak pernah dimakan usia.
Score : 3.5 / 4 stars
Breakfast at Tiffany’s | 1961 | Drama, Romantis, Komedi | Pemain: Audrey Hepburn, George Peppard, Patricia Neal, Buddy Ebsen, Martin Balsam, Mickey Rooney | Sutradara: Blake Edwards | Produser: Martin Jurow, Richard Shepherd | Penulis: Berdasarkan novel Breakfast at Tiffany’s karya Truman Capote. Naskah: George Axelrod | Musik: Henry Mancini | Sinematografi: Franz F. Planer | Distributor: Paramount Pictures | Negara: Amerika Serikat | Durasi: 114 Menit
Comments
Post a Comment