Blow-Up (1966) : Eksploitasi Lensa Kamera
![]() |
Metro-Goldwyn-Mayer |
'Blow-Up' movie will blow your mind!
Film The Conversation (1974) karya Francis Ford Coppola dan Blow Out (1981) karya Brian De Palma, terinspirasi dari film ini, dengan tema prasangka terhadap skenario pembunuhan melalui sebuah alat.
Baca juga: The Conversation (1974): Terobsesi oleh Penyadapan
Alat yang dimaksud dalam film ini, yakni eskploitasi melalui lensa kamera oleh seorang fotografer di sebuah taman. Blow-Up terinspirasi dari cerita pendek karya Julio Cortázar berjudul Las babas del Diablo atau The Devil’s Drool (1959).
Terdapat multi-interpretasi dari arahan di film ini, baik secara eksplisit maupun implisit, terkait era budaya tandingan (counterculture) di tahun 60’an terhadap gaya hidup melalui busana dan revolusi musik rock, yakni Swinging London.
Premisnya pun kental dengan drama suspens ala Hitchcock, melalui sudut pandang psikologis dari karakter utamanya yang merekam sebuah momen janggal melalui lensa kamera.
Judul Blow-Up juga mengandung beberapa makna, selain berhubungan dengan penjelasan sebelumnya, bahwa hasil jepretan kamera terhadap sebuah momen tersebut, menimbulkan prasangka akan skenario dan adegan pembunuhan.
Sehingga, sang fotografer pun menjadi paranoid.
Dalam usaha membuktikan prasangkanya, disajikan melalui perpaduan unsur surealisme antara hasil foto, dengan fakta yang dialami di lapangan, serta serangkaian kejadian selanjutnya.
Blow-Up mengisahkan seorang fotografer bernama Thomas (David Hemmings), suatu saat pergi mengunjungi sebuah taman dengan membawa kamera. Tak sengaja saat sedang memotret taman, ia melihat sepasang kekasih, lalu memotretnya dari kejauhan.
Tampak mereka terlihat sedang berargumen, lalu sang wanita tersebut (Vanessa Redgrave) mengetahui keberadaan Thomas yang diam-diam memotretnya. Lalu ia menghampiri Thomas dan memaksanya untuk menyerahkan negatif fotonya, sedangkan Thomas enggan melakukannya.
Beberapa saat kemudian, Thomas bertemu dengan seorang agen untuk membahas sebuah buku yang berisikan foto-foto hasil karyanya.
Ia mulai merasa curiga ada seseorang yang membuntutinya.
Saat Thomas tiba di rumahnya, wanita tadi menghampirinya dan memohon kepadanya untuk menyerahkan negatif film tersebut. Setelah melalui perbincangan yang menuju keintiman, Thomas diam-diam menukar negatif film yang dimaksud, lalu menyerahkannya kepada wanita tersebut.
Saat Thomas mencetak negatif film tersebut, ia melihat kejanggalan dan menduga ada orang lain yang bersembunyi dalam semak-semak dengan memegang senjata yang mengarah kepada kedua kekasih tersebut.
Thomas menarik kesimpulan, bahwa sang pria mungkin saja dibunuh oleh sosok orang tersebut, saat wanita tadi berkonfrontasi dengannya. Di malam harinya, ia bertekad mendatangi kembali ke taman tersebut, dengan perasaan khawatir jika ia menemukan jenazah kekasih wanita tersebut.
Cerita film Blow-Up dibuka dengan cara yang ambigu, dengan menampilkan adegan segerombolan anak muda yang turun dari mobil dan dengan penampilan muka layaknya seperti pantomin, berhamburan ke jalanan.
Lalu adegan beralih ketika Thomas keluar dari sebuah tempat seperti penampungan para gelandangan, menandakan berakhirnya tugas fotografinya sekaligus mengamati aktivitas mereka.
Aktivitasnya berlanjut, dalam adegan ia kembali menuju studionya dengan dua sesi pemotretan model, serta saat ia menuju sebuah toko antik. Setelahnya, ia berjalan kaki menuju ke sebuah taman yang berada dekat dengan lokasi toko tersebut, yang menandakan cerita sesungguhnya dimulai.
Mungkin adegan di taman tersebut menjadi inti dari ceritanya itu sendiri, sekaligus akhir dari babak pertama dalam transisi menuju babak kedua, yang memperkenalkan karakter wanita muda misterius (Vanessa Redgrave).
Serta setelah Thomas memotret mereka dari kejauhan, ia mencetak filmnya dan mengamati ada kejanggalan dari hasil fotonya tersebut, meski sempat diganggu oleh kedatangan dua gadis yang ingin menjadi model pemotretannya.
Seluruh aspek penyajian drama misteri ini diperlihatkan dengan begitu nyata, tanpa dibumbui oleh dramatisasi karakter, penyampaian dialog yang natural, berbagai adegan cenderung wajar namun estetis, visual yang mencengangkan, serta scoring yang hanya terdengar saat pembukaan dan penutupan kredit saja.
Selain itu, terdapat elemen terpenting dalam cerita film ini, yakni adanya semacam kesesatan logika bagi Thomas setelah mengetahui kejanggalan hasil foto dan kembalinya ia ke lokasi kejadian.
Thomas sepertinya dipermainkan oleh seseorang atau mungkin ada konspirasi yang tak sengaja memicunya untuk terlibat langsung atas penyelidikannya itu.
Paranoia Thomas dimulai ketika dari taman hendak pulang, ia merasa seperti ada yang mengikutinya, meski sorotan kamera dalam adegan tidak mengindikasikan apapun.
Obsesinya itu menimbulkan pengaruh akan rasa cemas hingga ia berkeringat, lalu pertanyaan lain timbul, siapa wanita misterius tadi? Apa ada hubungannya dengan dugaan pembunuhan terhadap kekasihnya?
Sebagai audiens, tentunya kita ingin menuntaskan inti ceritanya itu, namun apa yang terjadi, bakal membuyarkan semuanya.
Visualisasi di film ini merupakan salah satu elemen terbaik dan begitu megah terekspos.
Dengan memadukan berbagai adegan antara karakter, setting serta objek, melalui penempatan sudut dan sorotan kamera, pencahayaan serta pewarnaan, sehingga mampu mempermainkan suasana hati audiens untuk terpaku dalam beberapa adegan tertentu itu.
Mulai saat Thomas memotret 5 orang model dalam studio yang mengutamakan estetika pewarnaan pakaian dengan ruangan, serta tempat tinggalnya sekaligus berfungsi sebagai studio, dalam ruang unit apartemen luas berupa loft yang luas bergaya semi-rustic.
Film The Conversation (1974) karya Francis Ford Coppola dan Blow Out (1981) karya Brian De Palma, terinspirasi dari film ini, dengan tema prasangka terhadap skenario pembunuhan melalui sebuah alat.
Baca juga: The Conversation (1974): Terobsesi oleh Penyadapan
Alat yang dimaksud dalam film ini, yakni eskploitasi melalui lensa kamera oleh seorang fotografer di sebuah taman. Blow-Up terinspirasi dari cerita pendek karya Julio Cortázar berjudul Las babas del Diablo atau The Devil’s Drool (1959).
Terdapat multi-interpretasi dari arahan di film ini, baik secara eksplisit maupun implisit, terkait era budaya tandingan (counterculture) di tahun 60’an terhadap gaya hidup melalui busana dan revolusi musik rock, yakni Swinging London.
Premisnya pun kental dengan drama suspens ala Hitchcock, melalui sudut pandang psikologis dari karakter utamanya yang merekam sebuah momen janggal melalui lensa kamera.
Judul Blow-Up juga mengandung beberapa makna, selain berhubungan dengan penjelasan sebelumnya, bahwa hasil jepretan kamera terhadap sebuah momen tersebut, menimbulkan prasangka akan skenario dan adegan pembunuhan.
Sehingga, sang fotografer pun menjadi paranoid.
![]() |
Metro-Goldwyn-Mayer |
Dalam usaha membuktikan prasangkanya, disajikan melalui perpaduan unsur surealisme antara hasil foto, dengan fakta yang dialami di lapangan, serta serangkaian kejadian selanjutnya.
Blow-Up mengisahkan seorang fotografer bernama Thomas (David Hemmings), suatu saat pergi mengunjungi sebuah taman dengan membawa kamera. Tak sengaja saat sedang memotret taman, ia melihat sepasang kekasih, lalu memotretnya dari kejauhan.
Tampak mereka terlihat sedang berargumen, lalu sang wanita tersebut (Vanessa Redgrave) mengetahui keberadaan Thomas yang diam-diam memotretnya. Lalu ia menghampiri Thomas dan memaksanya untuk menyerahkan negatif fotonya, sedangkan Thomas enggan melakukannya.
Ia mulai merasa curiga ada seseorang yang membuntutinya.
Saat Thomas tiba di rumahnya, wanita tadi menghampirinya dan memohon kepadanya untuk menyerahkan negatif film tersebut. Setelah melalui perbincangan yang menuju keintiman, Thomas diam-diam menukar negatif film yang dimaksud, lalu menyerahkannya kepada wanita tersebut.
![]() |
Metro-Goldwyn-Mayer |
Saat Thomas mencetak negatif film tersebut, ia melihat kejanggalan dan menduga ada orang lain yang bersembunyi dalam semak-semak dengan memegang senjata yang mengarah kepada kedua kekasih tersebut.
Thomas menarik kesimpulan, bahwa sang pria mungkin saja dibunuh oleh sosok orang tersebut, saat wanita tadi berkonfrontasi dengannya. Di malam harinya, ia bertekad mendatangi kembali ke taman tersebut, dengan perasaan khawatir jika ia menemukan jenazah kekasih wanita tersebut.
Lalu adegan beralih ketika Thomas keluar dari sebuah tempat seperti penampungan para gelandangan, menandakan berakhirnya tugas fotografinya sekaligus mengamati aktivitas mereka.
Aktivitasnya berlanjut, dalam adegan ia kembali menuju studionya dengan dua sesi pemotretan model, serta saat ia menuju sebuah toko antik. Setelahnya, ia berjalan kaki menuju ke sebuah taman yang berada dekat dengan lokasi toko tersebut, yang menandakan cerita sesungguhnya dimulai.
Mungkin adegan di taman tersebut menjadi inti dari ceritanya itu sendiri, sekaligus akhir dari babak pertama dalam transisi menuju babak kedua, yang memperkenalkan karakter wanita muda misterius (Vanessa Redgrave).
![]() |
Metro-Goldwyn-Mayer |
Serta setelah Thomas memotret mereka dari kejauhan, ia mencetak filmnya dan mengamati ada kejanggalan dari hasil fotonya tersebut, meski sempat diganggu oleh kedatangan dua gadis yang ingin menjadi model pemotretannya.
Seluruh aspek penyajian drama misteri ini diperlihatkan dengan begitu nyata, tanpa dibumbui oleh dramatisasi karakter, penyampaian dialog yang natural, berbagai adegan cenderung wajar namun estetis, visual yang mencengangkan, serta scoring yang hanya terdengar saat pembukaan dan penutupan kredit saja.
Selain itu, terdapat elemen terpenting dalam cerita film ini, yakni adanya semacam kesesatan logika bagi Thomas setelah mengetahui kejanggalan hasil foto dan kembalinya ia ke lokasi kejadian.
Thomas sepertinya dipermainkan oleh seseorang atau mungkin ada konspirasi yang tak sengaja memicunya untuk terlibat langsung atas penyelidikannya itu.
Obsesinya itu menimbulkan pengaruh akan rasa cemas hingga ia berkeringat, lalu pertanyaan lain timbul, siapa wanita misterius tadi? Apa ada hubungannya dengan dugaan pembunuhan terhadap kekasihnya?
![]() |
Metro-Goldwyn-Mayer |
Sebagai audiens, tentunya kita ingin menuntaskan inti ceritanya itu, namun apa yang terjadi, bakal membuyarkan semuanya.
Visualisasi di film ini merupakan salah satu elemen terbaik dan begitu megah terekspos.
Mulai saat Thomas memotret 5 orang model dalam studio yang mengutamakan estetika pewarnaan pakaian dengan ruangan, serta tempat tinggalnya sekaligus berfungsi sebagai studio, dalam ruang unit apartemen luas berupa loft yang luas bergaya semi-rustic.
Baca juga: Review Last Night in Soho, Horor Nostalgia yang Bakal Dikenang Selalu
Dalam adegan berkendaraan, tampak beberapa deret bangunan komersil berwarna merah dan satu bangunan berawarna biru terlihat, ketika Thomas mengendarai mobilnya di jalanan kota London yang cukup lenggang,
Aktivitas penyelidikan Thomas terhadap hasil karya jepretannya ketika ia sedang berada di taman, terpampang dalam beberapa cetakan foto hitam-putih.
Ia yang menemukan kejanggalan pada hasil fotonya tersebut, terekspos melalui kamera yang menyoroti hasil cetak foto, sambil mengingat kembali kejadian tersebut, diiringi dengan efek suara hembusan angin di taman itu.
Maka ia pun berulang-kali kembali mencuci dan mencetak bagian foto yang menurutnya janggal, untuk diperbesar agar terlihat jelas.
Visual dalam mise-en-scéne di taman yang sepi itulah yang menjadi momentum Thomas, terlibat dalam peristiwa yang sepertinya dianggap biasa, sekaligus menjadi bagian terpenting cerita.
Keindahan dan kemegahan taman yang luas tersebut, memperlihatkan sebuah landskap sehingga saat ia berjalan dan memotret, disorot dari kejauhan, tak lupa disertai hembusan angin terhadap pepohonan dan kicauan burung yang merdu.
Hal tersebut disambung ketika Thomas seperti karakter dalam film Peeping Tom (1960), dari kejauhan mengikuti dan mengamati sepasang kekasih yang dalam keadaan bahagia, bercumbu, menari serta berbincang.
Dalam adegan itulah bagaimana seorang sineas dan sinematografer dengan jeli mengatur posisi karakter terhadap bentuk landskap atau lekukan taman, sehingga mendapatkan sudut sorotan yang pas dan enak dilihat.
Terdapat satu adegan meriah, saat Thomas membuntuti wanita misterius tadi hingga masuk ke dalam konser rock band bernama Yardbirds, tampak performa gitaris muda Jimmy Page sebelum ia membentuk Led Zeppelin.
Dari sisi akting saya rasa tidak ada yang istimewa, mengingat film ini lebih mengeksploitasi dari sisi ambiguitas cerita berupa drama suspens yang terasa nyata serta natural, performa dalam koreografi yang estetis, sinematografi mumpuni, serta penonjolan budaya tandingan yang melanda generasi saat itu.
Film Blow-Up adalah sebuah eksploitasi lensa kamera terhadap prasangka pembunuhan yang mengakibatkan timbulnya obsesi dan paranoia.
Sebuah film mahakarya yang membuat anda bakal terheran-heran!
Score : 4 / 4 stars
Blow-Up | 1966 | Drama, Suspens/Misteri | Pemain: David Hemmings, Vanessa Redgrave, Sarah Miles, John Castle, Jane Birkin, Tsai Chin, Peter Bowles, Gillian Hills, Veruschka | Sutradara: Michelangelo Antonioni | Produser: Carlo Ponti, Pierre Rouve | Penulis: Michelangelo Antonioni. Naskah: Michelangelo Antonioni, Tonino Guerra | Musik: Herbert Hancock | Sinematografi: Carlo Di Palma | Distributor: Metro-Goldwyn-Mayer | Negara: Inggris, Amerika Serikat, Italia | Durasi: 111 Menit
Dalam adegan berkendaraan, tampak beberapa deret bangunan komersil berwarna merah dan satu bangunan berawarna biru terlihat, ketika Thomas mengendarai mobilnya di jalanan kota London yang cukup lenggang,
Aktivitas penyelidikan Thomas terhadap hasil karya jepretannya ketika ia sedang berada di taman, terpampang dalam beberapa cetakan foto hitam-putih.
Ia yang menemukan kejanggalan pada hasil fotonya tersebut, terekspos melalui kamera yang menyoroti hasil cetak foto, sambil mengingat kembali kejadian tersebut, diiringi dengan efek suara hembusan angin di taman itu.
Maka ia pun berulang-kali kembali mencuci dan mencetak bagian foto yang menurutnya janggal, untuk diperbesar agar terlihat jelas.
![]() |
Metro-Goldwyn-Mayer |
Visual dalam mise-en-scéne di taman yang sepi itulah yang menjadi momentum Thomas, terlibat dalam peristiwa yang sepertinya dianggap biasa, sekaligus menjadi bagian terpenting cerita.
Hal tersebut disambung ketika Thomas seperti karakter dalam film Peeping Tom (1960), dari kejauhan mengikuti dan mengamati sepasang kekasih yang dalam keadaan bahagia, bercumbu, menari serta berbincang.
Dalam adegan itulah bagaimana seorang sineas dan sinematografer dengan jeli mengatur posisi karakter terhadap bentuk landskap atau lekukan taman, sehingga mendapatkan sudut sorotan yang pas dan enak dilihat.
Terdapat satu adegan meriah, saat Thomas membuntuti wanita misterius tadi hingga masuk ke dalam konser rock band bernama Yardbirds, tampak performa gitaris muda Jimmy Page sebelum ia membentuk Led Zeppelin.
Dari sisi akting saya rasa tidak ada yang istimewa, mengingat film ini lebih mengeksploitasi dari sisi ambiguitas cerita berupa drama suspens yang terasa nyata serta natural, performa dalam koreografi yang estetis, sinematografi mumpuni, serta penonjolan budaya tandingan yang melanda generasi saat itu.
Film Blow-Up adalah sebuah eksploitasi lensa kamera terhadap prasangka pembunuhan yang mengakibatkan timbulnya obsesi dan paranoia.
Sebuah film mahakarya yang membuat anda bakal terheran-heran!
Score : 4 / 4 stars
Blow-Up | 1966 | Drama, Suspens/Misteri | Pemain: David Hemmings, Vanessa Redgrave, Sarah Miles, John Castle, Jane Birkin, Tsai Chin, Peter Bowles, Gillian Hills, Veruschka | Sutradara: Michelangelo Antonioni | Produser: Carlo Ponti, Pierre Rouve | Penulis: Michelangelo Antonioni. Naskah: Michelangelo Antonioni, Tonino Guerra | Musik: Herbert Hancock | Sinematografi: Carlo Di Palma | Distributor: Metro-Goldwyn-Mayer | Negara: Inggris, Amerika Serikat, Italia | Durasi: 111 Menit
Comments
Post a Comment