Ulasan Film Trilogi ‘Back to the Future’

ulasan film trilogi back to the future
Universal Pictures

“Great Scott!”
 
Sinema petualangan fiksi ilmiah ulasan film trilogi Back to the Future, tentang perjalanan menjelajahi waktu ke masa lalu dan masa depan.

Anda jangan pernah mengaku sebagai penggemar film fiksi ilmiah, khususnya berkenaan dengan tema penjelajahan waktu, jika belum menonton trilogi film Back to the Future.

Sebagai salah satu film terfavorit sepanjang masa, Back to the Future merupakan rangkaian utuh trilogi saga McFly melalui figur sentral bernama Marty, seorang remaja di tahun 1985.

Back to the Future sejatinya merupakan fiksi ilmiah, tentang petualangan dalam menjelajahi waktu, melalui elemen laga komedi. 

Judul tersebut kerap dan bahkan identik dalam hampir setiap rujukan akan film dengan tema time travel maupun time paradox. 
 

Mobil DeLorean dengan flux capacitor-nya adalah objek ikonik dalam budaya populer, tentu saja karakterisasi dan atribut yang dikenakan pun begitu unik.

Banyak humor dan komedi segar, catchphrase yang selalu dikenang, efek terbaik di masanya, serta naskah mumpuni, sukses menaklukan seluruh penggemar secara global.

Ide cerita Back to the Future berasal dari duet sineas Robert Zemeckis dan produser Bob Gale serta Steven Spielberg.

Film tersebut sukses secara kritik maupun finansial, meski menurut pandangan umum kualitas film ke-2 dan ke-3 agak menurun. 

Berikut ini adalah ulasan masing-masing tiga film Back to the Future:

review film back to the future
Universal Pictures
Back to the Future (1985)

Wait a minute Doc. Are you telling me you built a time machine … out of a DeLoeran?

Marty McFly (Michael J. Fox) tak sengaja terdampar ke tahun 1955 dalam sebuah insiden.

Serangan teroris menewaskan sahabatnya yakni Doc (Christopher Lloyd), saat bereksperimen dengan mesin waktu.

Lucunya, Marty tak sengaja bertemu dengan ayahnya George (Crispin Glover) dalam usia remaja. 

George adalah seorang kutu buku yang kerap menjadi sasaran bully dari Biff (Thomas F. Wilson) dan kelompoknya.

Ia juga berupaya mempersatukan George dengan ibunya, yakni Lorraine (Lea Thompson) yang malah jatuh cinta kepada dirinya.

Agar dirinya masih terus eksis, maka ia segera menghampiri Doc, dan berupaya untuk kembali menuju masa depan di tahun 1985. 

Namun kehadiran Biff merupakan batu sandungan yang harus dilalui, mengingat ketidakberdayaan George terhadapnya.

Sejauh yang saya ketahui dan saya paling sukai, hanya ada dua narasi film penjelajahan waktu terbaik sepanjang masa, yakni The Terminator (1984) dan Back to the Future

Khusus film terakhir, narasinya mampu ditunjang dengan naskah serta performa aktor/aktris terbaik dan begitu impresif.  
 
ulasan film back to the future
Universal Pictures
Saat anda menonton filmnya, terasa jalan cerita tampak sederhana, namun lambat-laun sangat terasa banyak kejutan tak terduga.

Intrik dibangun perlahan secara elegan, mulai dari problema utama, hingga menuju puncak konflik.

Adapun cara mewujudkan solusi ceritanya dieksekusi sangat apik dan segar, terkesan rumit namun sangat seru.

Saya begitu terpana akan setiap adegannya dari awal hingga akhir, terhadap seluruh elemen yang dieksekusi dengan sempurna. 

Hanya gara-gara keterlibatan Marty McFly terhadap ayah dan ibunya di masa remaja mereka, maka terdapat sejumlah alternatif yang akan timbul di masa depan.

Bagaimanapun juga, semua kekacauan tersebut mampu dikemas begitu istimewa dan selalu menghibur.

Elemen dialog humor dan komedi slapstick meriah sangat baik, sehingga durasi kurang dari dua jam saja tidaklah pernah cukup.

Setting lokasi fiktif Hill Valley dan Lyon Estates dalam dua era berbeda, sungguh menakjubkan dari sinematografer Dean Cundey.

Visualnya mampu memberikan nuansa dan atmosfir yang kuat, terkait interaksi dan reaksi Marty McFly dalam lingkungan tersebut.

Tak ketinggalan, lokasi dalam adegan ikonik di Twin Pines Mall dalam adegan eksperimen Doc, Marty, DeLoeran serta Einstein!

Banyak sekali adegan yang dikenang dalam setiap alurnya, mulai saat Marty memasuki ruangan dengan hanya memperlihatkan sepasang sneakers yang dikenakannya, ia mencoba memainkan gitar di depan speaker raksasa. 

sinopsis film back to the future
Universal Pictures
Lalu saat Marty tiba di tahun 1955 dengan mobil DeLorean sambil mengenakan jubah anti radiasi yang disangka mahluk asing oleh satu keluarga.

Momen terkocak saat ia tak sengaja bertemu dengan George di sebuah kafe.

Ada pula pengejaran seru sekaligus menjadi reka ulang Marty menggunakan skateboard di dua masa yang berbeda.

Sedangkan simulasi yang dilakukan Doc dengan dioramanya, tak kalah menakjubkan.

Tipu daya Marty terhadap George yakni menyamar sebagai mahluk asing, dalam adegan meriah dengan merujuk Darth Vader, Planet Vulcan, dan sayatan gitar Eddie Van Halen.

Maka akhir dari puncak cerita dalam acara pesta dansa sekolah itulah paling meriah, saat Mart memainkan "Johnny B. Goode" yang ironisnya menginspirasikan Chuck Berry sendiri!

Adegan terakhir juga tak kalah impresif terjadi saat Doc tiba-tiba kembali muncul dari masa depan, diiringi dengan kredit penutup serta tema musik ikonik dari Alan Silvestri. 
  
Selain itu, begitu banyak slogan dan kutipan yang melekat dan terlintas di sepanjang dialog, seperti dua kata yang kerap diucapkan Doc saat ia terhentak: "Great Scott!"

Demikian dengan Marty dengan: “This is heavy.”

Sementara sang antagonis Biff: "What are you looking at butthead?” dan “Hello? Hello? Anybody home? Huh? Think McFly! Think!” 

Sejumlah objek yang dimunculkan dalam Back to the Future, umumnya menjadi ikonik seperti tentunya mobil DeLoeran yang dimodifikasi sedemikian rupa.

Gaya busana yang dikenakan Marty di tahun 1985 dengan jaket pelampung berwarna merah, kacamata hitam, sneakers merek Nike Bruin, juga tak ketinggalan skateboard-nya begitu keren.

back to the future ikonik terbaik sepanjang masa
Universal Pictures
Sedangkan penampilan fisik unik Doc Brown dengan rambut panjang ikal berwarna putih, sungguh nyentrik.

Efek visual di jaman itu sebenarnya hanya tampil sedikit, karena memang fokus pada setting waktu di tahun 1955. 

Semua eksistensi fantastis Back to the Future akan hambar tanpa performa fantastis dari Michael J. Fox yang saat itu sedang sibuk dengan sitkom Family Ties.

Aktor Christopher Lloyd yang membawakan figur antik, maupun Lea Thompson, serta Thomas F. Wilson masing-masing dengan figur ‘komik’-nya, tak kalah impresif.

Namun tak ada yang bisa menandingi akting luar biasa Crispin Glover sebagai George yang super cupu dan lemah tak berdaya tersebut, sehingga kerap mendapatkan simpati layak dari audiens.

Film Back to the Future bagian pertama dan orisinal ini, boleh dibilang sempurna dan luar biasa, tanpa perlu penjelasan lagi … karena ini sudah terlalu panjang dan lebar!
       
Score: 4 / 4 stars | Pemain: Michael J. Fox, Christopher Lloyd, Lea Thompson, Crispin Glover, Thomas F. Wilson, James Tolkan | Sutradara: Robert Zemeckis | Produser: Bob Gale, Neil Canton | Penulis: Robert Zemeckis, Bob Gale | Musik: Alan Silvestri | Sinematografi: Dean Cundey | Distributor: Universal Pictures | Negara: Amerika Serikat | Durasi: 116 Menit


review ulasan sinopsis back to the future part two
Universal Pictures
Back to the Future Part II (1989)

Roads? Where we’re going, we don’t need roads.

Doc (Christopher Lloyd) tiba di tahun 1985, kali ini mengendarai DeLorean terbang.

Ia menghampiri Marty (Michael J. Fox) dan Jennifer (Elizabeth Shue). Doc mengajak mereka menuju masa depan di tahun 2015.

Misi mereka yakni memperbaiki nasib keluarga Marty dan reputasi Doc, terutama insiden dari putra bungsu Marty.

Lagi-lagi hal tersebut melibatkan kawanan berandalan yang dipimpin oleh Griff (Thomas F. Wilson), cucu Biff Tannen.

Namun terjadi kekacauan saat mereka tiba di tahun 1985, karena nasib Marty serta ayah dan ibunya (George dan Lorainne) berada di tangan Biff yang kini menguasai kota tersebut. 

Marty dan Doc pun akhirnya harus kembali menuju tahun 1955 untuk memperbaiki sekaligus mengembalikan realita semula di tahun 1985. Mengapa dan bagaimana hal itu bisa terjadi?

Back to the Future Part II bagi saya merupakan salah satu film sekuel terbaik sepanjang masa, sama hebatnya dengan film sebelumnya.

Aspek penceritaan maupun rincian peristiwa dalam film ini, terkasan lebih dark sekaligus banyak memberikan kejutan.

Film ini memiliki warna dan kekuatan yang mampu menawarkan alternatif dan bahkan inovasi yang sulit terpikirakan oleh audiens sebelumnya. 

Jika film sebelumnya menghampiri masa lalu, maka film ini juga menghampiri masa depan yang narasinya sempat viral di tahun 2015 lalu.

back to the future part two futuristik teknologi
Universal Pictures
Begitu pula terdapat terdapat dua adegan yang sama dalam satu lokasi namun di waktu yang berbeda. 

Bahkan lebih gilanya, film ini mampu me-rekreasi adegan pesta dansa tahun 1955 sama persis dari film sebelumnya, melalui sudut pandang berbeda!

Tiga hal utama yang luar biasa dalam Back to the Future Part II berdasarkan tiga babak, sesuai dengan tiga masa waktu berbeda yakni tahun 2015, 1985 serta 1955.

Babak pertama di tahun 2015 sungguh menarik karena sebagian diantaranya telah digenapi di masa kini, seperti teknologi augmented reality, televisi flat dengan pembagian layar, serta komunikasi video.

Meski mobil terbang masih jauh melampaui realita di jaman sekarang, begitu pula jaket yang otomatis bisa menyesuaikan ukuran tubuh dan pengering, namun kini sudah ada sepatu Nike MAG.

Ya tentu saja teknologi sepatunya tidaklah secanggih dalam adegan film.

Lalu hoverboard juga masih riskan keamanannya meski seharusnya sudah bisa diproduksi, sedangkan "pizza ajaib" bisa bikin mind-blowing.
 

Meski efek spesial yang disajikan masih kasar di jamannya, namun secara keseluruhan tidaklah mencederai visual dan adegan yang dikomposisikan secara estetis dan enak dilihat.

Hal pembeda dan terpenting di film ini yakni babak dua di tahun 1985 yang bernuansa dark dan mature, saat terciptanya kekacauan akan kesengsaraan dan tragedi yang menimpa keluarga McFly.

Hal itu senada dengan kondisi futuristik yang bersifat dystopiansemacam post-apocalypse yang didominasi oleh kriminalitas brutal.

back to the future part two sekuel terbaik
Universal Pictures
Babak tersebut saya rasa merupakan kunci utama dalam narasi Back to the Future Part II

Sebuah pelintiran jenius, bagaimana seandainya film ini tidak melulu menyajikan hal ringan cenderung bergaya klise.

Penceritaan Back to the Future Part II sesekali memberikan sentuhan emosi kelam.

Babak terakhir tak kalah mengejutkan dan mengagumkan, dalam menghadirkan figur ganda Marty dan Doc. 

Versi satu sedang melangsungkan adegan di film sebelumnya, sedangkan versi lain melakukan aksi baru.

Sayangnya, Crispin Glover sudah tidak terlibat lagi sebagai George McFly dan figurnya pun diminimalisir. 

Michael J. Fox berperan multi sebagai Marty McFly yang menua di tahun 2015 sekaligus sebagai putri dan putra bungsunya. 

Begitu juga dengan Thomas F. Wilson sebagai Biff versi 1985, 2015, 1955 serta sebagai Griff.

Sekuel ini mampu sedikit menyamai filmnya terdahulu, karena masih didominasi dengan semesta yang sama secara materi dan gaya, ditambah dengan elemen baru dan segar.

Score: 4 / 4 stars | Pemain: Michael J. Fox, Christopher Lloyd, Lea Thompson, Jeffrey Weissman, Thomas F. Wilson, James Tolkan, Elizabeth Shue | Sutradara: Robert Zemeckis | Produser: Bob Gale, Neil Canton | Penulis: Robert Zemeckis, Bob Gale | Musik: Alan Silvestri | Sinematografi: Dean Cundey | Distributor: Universal Pictures | Negara: Amerika Serikat | Durasi: 108 Menit


review ulasan sinopsis back to the future part three
Universal Pictures
Back to the Future Part III (1990)

Eastwood. Clint Eastwood.

Doc (Christopher Lloyd) memberitakan kepada Marty (Michael J. Fox) bahwa dirinya terjebak di tahun 1885.

Ia mengirimkan surat melalui kurir di tahun 1955, tepat setelah insiden DeLorean tersambar petir saat mereka hendak kembali ke tahun 1985.

Marty bergegas kembali menghampiri Doc versi 1955 yang begitu syok melihat kedatangannya, karena baru saja ia memulangkannya ke tahun 1985. 

Melalui petunjuk dalam surat, mereka menemukan sekaligus memperbaiki DeLorean di sebuah lokasi.

Maka Marty menuju tahun 1885 dan kembali bertemu dengan Doc versi 1985, guna mengupayakan untuk kembali menuju era asli mereka, namun terjadi sejumlah kendala besar, diantaranya:

Selang bensin mengalami kebocoran dan sulit untuk diatasi, Doc jatuh cinta terhadap wanita bernama Clara (Mary Steenburgen) dan mengalami dilema.

Selain itu, ada tantnagan besar datang dari buyut Biff bernama Bufford “Mad Dog” Tannen (Thomas F. Wilson).

Saat di akhir cerita film sebelumnya, terdapat cuplikan film Back to the Future Part III yang begitu menjanjikan.

Setting waktu di jaman Old Western atau koboi terkesan menjanjikan, mengingat produksinya dibagi untuk dua film sekaligus.

back to the future part three western koboi
Universal Pictures
Babak pertama dengan setting di tahun 1955 masih sama impresif-nya dengan film terdahulu.

Ritme kembali bergejolak tatkala adegan saat Marty memasuki tahun 1885, berada dalam pertempuran pasukan Indian dan Kavaleri.

Begitu pula dalam adegan Marty memasuki kota Hill Valley versi Western dan memulai perseteruan awal dengan Bufford, masih seru dengan kombinasi humor meriah sebelumnya.

Tampaknya sekuel ini memang menawarkan alternatif baru, dengan mengalihkan fokus terhadap figur Doc dalam sisi humanisme saat pertama kali jatuh cinta terhadap Clara. 

Namun di sisi lain, Back to the Future Part III malah menjadi kurang menarik dan terkesan cukup datar, seperti kehilangan rasa petualangan yang menggugah rasa.

Entah karena performa Mary Steenburgen yang biasa saja dan malah kurang menarik, ikatannya dengan Doc terkesan agak hambar, maka saya anggap sebagai pengisi belaka terhadap narasi besar film ini.

Akibatnya terasa kurang menggigit, saat Marty tak sengaja berjumpa dengan buyutnya, yakni Seamus McFly (yang juga diperankan oleh J. Fox) dan istrinya, Maggie McFly (Lea Thompson).

back to the future part three sekuel penutup
Universal Pictures
Pengembangan kisah Marty dengan buyutnya tersebut, juga terkesan kurang mengikat satu sama lain, serta tidak ada beberapa kejutan emosional yang berarti. 

Hanya figur Bufford-lah yang paling lumayan sebagai sang antagonis yang masih konyol, meski kini terkesan lebih dewasa dan sangar.

Marty memakai nama "Clint Eastwood" saat dirinya berada di tahun 1885, ironisnya tahun 1955 sendiri nama Clint Eastwood belumlah populer.

Referensi film A Fistful of Dollars (1964) yang melambungkan nama Eastwood pun ditunjukkan, saat Marty mengenakan jubah berupa poncho dan bertarung dengan Bufford. Lumayan menghibur!

Satu hal yang paling saya suka dalam adegan film ini, yakni saat Doc menjelaskan kepada Marty melalui simulasi diorama, bagaimana caranya mereka dengan DeLorean-nya kembali menuju tahun 1985. 

Membangun diorama sederhana dan antik di jaman itu, sungguh mengesankan.

Tidak ada yang istimewa dalam Back to the Future Part III, sebagai penutup yang seharusnya bisa dieksplorasi lebih baik lagi melalui narasi dan naskahnya.

Meski demikian, sekuel ini masih bisa dinikmati sebagai bagian utuh saga McFly.
  
Score: 2.5 / 4 stars | Pemain: Michael J. Fox, Christopher Lloyd, Lea Thompson, Mary Steenburgen, Thomas F. Wilson, James Tolkan, Elizabeth Shue, Flea | Sutradara: Robert Zemeckis | Produser: Bob Gale, Neil Canton | Penulis: Robert Zemeckis, Bob Gale | Musik: Alan Silvestri | Sinematografi: Dean Cundey | Distributor: Universal Pictures | Negara: Amerika Serikat | Durasi: 108 Menit

Itulah sinema petualangan fiksi ilmiah ulasan film trilogi Back to the Future, tentang perjalanan menjelajahi waktu ke masa lalu dan masa depan.

Comments