Vigilante, Sosok ‘The Real Superhero’

vigilante sosok the real superhero
Warner Bros Pictures

Amati, intai, sasar, tembak! 

Pernahkah terbesit dalam imajinasi anda, untuk menyaksikan langsung peristiwa kriminal jalanan dan anda merasa gatal ingin menumpas para kriminal tersebut dengan menggunakan senjata? Efek kebanyakan nonton film?

Mungkin saja, namun film jugalah yang berbicara tatkala ketidakadilan terasa dan posisi hukum tidak berada di tempat.

Kita tentu pernah mendengar, menonton atau membaca berita yang belum lama tersiar tentang seorang ‘sniper’ yang adalah warga Bekasi, menembak salah satu anggota geng motor hingga tewas.


Pelaku yang usianya masih muda yakni 20 tahun, menembak korban dengan senapan angin miliknya, sehingga menuai pro-kontra di berbagai media online dan sosial. Pemuda tersebut mungkin bagi sebagian orang bisa disebut ‘pahlawan’ karena telah memberi ‘pelajaran’ bagi para kriminal.
 
Selain itu, masih banyak contoh lainnya seperti pembegalan motor di berbagai penjuru tanah air. Lalu bagaimana tindakan ototritas hukum dalam mencegah dan bertindak? Perpaduan kemarahan, kebencian, frustasi, waspada serta paranoid tentunya secara alami ada dalam diri kita masing-masing, sebagai manusia biasa.

Baca juga: Dirty Harry Series : Dirty Harry (1971)

Pernahkah anda membayangkan sosok vigilante atau ‘pahlawan’ yang langsung menyikat habis para kriminal? Lupakan semua sosok superhero The Punisher apalagi 'pesta kostum' ala Batman, Daredevil, bahkan Darkman sekalian. Lupakan pula sosok polisi layaknya di film Dirty Harry, Lethal Weapon atau Die Hard.

Yang dimaksud adalah sosok vigilante yang mendekati nyata, artinya yang nekat main hakim sendiri, meski melanggar hukum sekalian.

Sejak pertama kali muncul di abad pertengahan sebagai balas dendam atas penindasan tirani, kini vigilante bertransformasi dalam dunia modern adalah manusia biasa dengan segala kekuatan dan kekuasaan terbatas, dan tidak menonjolkan aksi yang berlebihan.

Vigilante muncul ketika hukum tidak berfungsi maksimal dalam memerangi kriminal, serta menjalankan aksinya sendirian dan dianggap sosok pahlawan yang ironisnya anti-hero, dengan menyembunyikan identitas yang menjadi alter-egonya, serta enggan dalam bekerjasama dengan otoritas atau mengikuti prosedur hukum.

Dari sisi psikologis, mungkin sosok tersebut memiliki kecanduan dengan langsung membasmi para penjahat, bukan menyerahkannya kepada pihak otoritas. Banyak berbagai contoh film yang membahas vigilante berlatar belakang warga sipil dengan profesi normal yang mungkin mendekati kenyataan. Motif utama karakter tersebut biasanya berawal dari dendam kesumat.

sosok the real superhero vigilante
Columbia Pictures

Tipe vigilante jika ditinjau dari target buruannya, saya bagi menjadi dua. Yang pertama fokus terhadap seseorang atau pihak antagonis yang pernah menghancurkan hidup sang protagonis.

Sejumlah film yang menceritakan hal tersebut biasanya mengeksplorasi metode balas dendam dengan berbagai cara dan perkembangan karakter protagonis yang bertransformasi dalam mengeksekusi serta menyelesaikan sesuatu yang ia mulai.

Salah satu contoh terbaik adalah Taxi Driver (1976) garapan Martin Scorsese yang dibintangi Robert DeNiro, menceritakan seorang mantan prajurit Amerika di Perang Vietnam yang memiliki sisi psikologis yang rumit, insomnia dan bekerja sebagai supir taksi di malam hari.

Ia mulai menemukan dirinya kembali menjadi seorang ‘prajurit perang’, setelah mendapat penolakan seorang wanita yang ia dekati. Wanita tersebut bekerja untuk seorang senator.

Ia pun melihat ketidakberesan seorang pelacur berumur 13 tahun yang tidak semestinya menjalani profesi tersebut. Ia lalu nekat untuk membunuh senator serta membasmi para pengelola di satu tempat lokalisasi.

Gaya penuturan film tadi boleh dibilang mirip dengan film Law Abiding Citizen (2009), tentang seorang warga sipil yang membalas dendam terhadap pembunuh keluarganya dan jaksanya serta beberapa orang yang terlibat dalam kasus tersebut.

Baca juga: Death Wish (1974) : Kisah Vigilante dari sebuah Tragedi

Dari dua contoh film tadi, kedua tokoh protagonis tersebut memiliki latar belakang berbeda, jika film pertama adalah mantan prajurit yang mungkin sudah tak asing dengan senjata, maka film kedua adalah warga sipil yang tidak memiliki pengalaman militer. 

Contoh lainnya terdapat dalam serangkaian seri Billy Jack, Vigilante Force (1976), Eye For an Eye (1996), Man on Fire (2004), Hard Candy (2005), A History of Violence (2005), The Brave One (2007), Gran Torino (2008), Harry Brown (2009) hingga The Equalizer (2014). 

Sedangkan genre horor slasher umumnya menghadirkan tokoh antagonis yang balas dendam dengan melampiaskan berbagai pembunuhan terhadap orang lain.

Namun bagaimana jika kondisinya dibalik? Film I Spit on Your Grave (1978) memberi contoh bagaimana seorang wanita yang menjadi korban dari segerombolan penjahat, berubah menjadi seseorang yang menakutkan dan bertindak sama-sama brutal dan penuh kekerasan terhadap para pelaku di masa lalunya.

Tindak lanjut yang mulai meluas dan memburu para target lainnya atas nama ketidakadilan terhadap orang lain, adalah tipe kedua dari seorang vigilante dalam film. Dari beberapa vigilante yang disebutkan tadi, haram rasanya jika tidak merujuk pada sosok Paul Kersey. 

Karakter yang diperankan oleh mendiang Charles Bronson dalam film mainstream kontroversial yang sarat akan kekerasan eksplisit, Death Wish (1974), adalah seorang arsitek yang melaksanakan misi balas dendam kepada para begundal yang telah membunuh istrinya dan memperkosa anak perempuannya.

sosok real superhero dalam vigilante
Paramount Pictures, Columbia Pictures

Dengan hanya bermodalkan sebuah pistol, Kersey tidak hanya memburu pelaku yang menghancurkan keluarganya, malah bertindak terlalu jauh, dengan membunuh siapapun pelaku kejahatan, apapun itu, termasuk seseorang yang berusaha menodongnya.

Film yang dibuat hingga lima seri tersebut, menceritakan perjalanan Kersey, sebagai seorang arsitek sekaligus vigilante yang mengalami kecanduan dalam membasmi kriminal jalanan.


Film Death Wish diadaptasi dari novel dengan judul yang sama di tahun 1972 karya Brian Garfield, serta dibuat hingga lima seri. Film Death Wish II (1979), mengambil beberapa elemen dari sekuel novelnya Brian Garfield berjudul Death Sentence (1975). 

Mungkin tidak banyak yang tahu setelah ada film remake yang dibintangi Dwayne Johnson di tahun 2004. Adalah Walking Tall (1973), sebuah film semi-biografi yang diangkat dari kisah nyata tentang mantan pegulat profesional, Buford Pusser, yang harus berhadapan dengan ketimpangan hukum dan korupsi yang menguasai kampung halamannya.


Pusser akhirnya menjadi seorang sheriff dan terus melawan kriminal, yang menjadi contoh figur penegak hukum yang bersih.
 
Film The Boondock Saints (1999), mengisahkan sepak terjang duo keturunan Irlandia, yang setelah membela diri dengan menewaskan seorang anggota Mafia Rusia, kemudian mendapat ‘pencerahan’ dan mengalami transformasi karakter, dengan membersihkan para kriminal di kota Boston.

Ada sesuatu yang unik dan mungkin bisa diargumentasikan apakah termasuk film vigilante atau bukan, tentang perjalanan seseorang yang berbuat apapun terhadap siapapun yang mengusiknya.

Baca juga: Peppermint (2018) : Vigilante Rasa Permen

Sedangkan dalam drama thriller Falling Down (1993), Michael Douglas berperan sebagai seseorang yang tidak bekerja dalam keadaan depresi. Dalam perjalanan jalan kaki menuju rumah mantan istrinya untuk menghadiri ulang tahun putrinya, ia bertualang mengalami serangkaian peristiwa yang tidak menyenangkan.

Film yang menggambarkan kondisi frustasi yang mudah meledak dan siap menghancurkan seseorang yang dianggap menyebalkan.

Selain itu, masih banyak film bertemakan vigilante lainnya, termasuk dalam kategori kelas-B, semisal The Exterminator (1980), Ms.45 (1981), Vigilante (1983), Savage Streets (1984) atau Avenging Angel (1985).

Kriminalisasi semakin merajalela, masyarakat semakin sengsara, saatnya vigilante berbicara! Selalu ada kontroversi dan konsekuensi dari tindakan kriminal apapun yang dilakukan. 


Imajinasi yang diekspresikan ke dalam bentuk film, merupakan salah satu solusi yang ditawarkan melalui kekerasan dibalas dengan kekerasan, hak asasi manusia pun turut berbicara.

Bagaimanapun juga sebuah film menyampaikan pesan dan nilai akan perilaku dan moralitas dalam tatanan sosial, lalu bagaimana pula posisi dan peran hukum yang juga harus kita hormati?


Sampai sejauh mana peran otoritas dalam menindak para pelaku kriminal? Kita semua hanya bisa berharap adanya keadilan yang tidak timpang.

Comments