It’s a Wonderful Life (1946): Indahnya Makna Dibalik Kepahitan

review its a wonderful life
RKO Radio Pictures

Sinema drama review It’s a Wonderful Life, film bertemakan Natal tentang indahnya makna dibalik kepahitan. 

Dari sekian banyak film drama fantasi bertemakan Natal, mungkin A Christmas Carol yang terpopuler sejak didaur ulang dari masa ke masa melalui berbagai versi. 

Tampak memiliki kemiripan tema, film klasik It’s a Wonderful Life ternyata sangat signifikan akan indahnya makna dibalik kepahitan hidup.

Diadaptasi dari cerita singkat berupa pamflet setebal 24 halaman karya Philip Van Doren Stern yang berjudul The Greatest Gift, akhirnya berhasil dijual kepada RKO Pictures yang dimiliki oleh seorang sineas top Frank Capra.

Baca juga: Mr. Smith Goes to Washington (1939): Memongkar Aib Wakil Rakyat

Awal mulanya, film It’s a Wonderful Life kurang mendapat sambutan, namun seiring berjalannya waktu terutama saat memasuki area publik, sehingga dinobatkan sebagai salah satu yang terbaik sepanjang masa, termasuk meraih lima nominasi Academy Awards.

It’s a Wonderful Life mengisahkan kehidupan George Bailey (James Stewart), putra dari seorang pebisnis berjiwa sosial yang rendah hati. 

Ia bertekad meninggalkan kota kecilnya, Bradford Falls, serta enggan meneruskan bisnis dari ayah dan pamannya yang ia anggap tidak ideal.

Di saat yang bersamaan, ancaman datang dari seorang pengusaha rakus dan kejam bernama Mr. Potter (Lionel Barrymoore) yang ingin mengambil-alih perusahaan ayah George, sejak sang ayah meninggal terkena serangan jantung.

Seketika pun George berkonfrontasi dengan Mr. Potter, sehingga para rekan seniornya mengajukan syarat untuk mempertahankan perusahaan asalkan dipimpin oleh George sendiri.

its a wonderful life makna indah kepahitan
RKO Radio Pictures

Dalam keadaan terdesak, George merelakan hasratnya keliling dunia dan melanjutkan kuliah ke luar kota.

Malah ia memberikan peluang bagi adiknya bernama Harry untuk kuliah meninggalkan Bradford Falls, dengan harapan kelak untuk menggantikan posisinya di perusahaan tersebut.

George juga kembali bertemu dengan Marry (Donna Reed), yang kembali saling jatuh cinta dan menikah bersamaan dengan tawaran bisnis menggiurkan dari teman lamanya, tak lama setelah kejutan datang dari Harry yang juga telah menikah dan malah bekerja di luar kota.

Adapun Mr. Potter kembali berbuat ulah dalam melakukan cara apapun untuk menguasai perusahaan milik keluarga Bailey. 

Untuk kesekian kalinya dalam keadaan terdesak, George harus merelakan ego-nya serta bertindak untuk menyelamatkan sesuatu yang berguna bagi penduduk kota tersebut.

Keajaiban Natal dalam narasi film, seringkali terkesan klise serta mudah terdeteksi alurnya. 

Film It’s a Wonderful Life tampaknya menghindari momen spesial tersebut sejak awal cerita, malahan fokus terhadap karakter utamanya yakni George Bailey mulai saat remaja hingga dewasa dan berkeluarga.

Boleh dibilang film ini seperti menyaksikan versi ringan dari Citizen Kane (1941) yang menyajikan saga karakter utama, dalam rentang waktu setting cerita yang cukup panjang hingga berakhir dalam suasana Malam Natal.

Baca juga: Citizen Kane (1941): Saga Raja Media

Dari judulnya sendiri menegaskan akan indahnya kehidupan yang tidak pernah disadari oleh George, terhadap sejumlah kekecewaan akan kenyataan yang jauh dari harapannya, sejak ia ingin menggapai sesuatu atas keinginan pribadinya, keluar dari bayang-bayang Bradford Falls.

ulasan its a wonderful life
RKO Radio Pictures

Bagaimana tidak, saat sang ayah tewas mendadak karena penyakit, menyebabkan ia harus mengorbankan keinginannya untuk keliling dunia dan kuliah sekaligus meninggalkan kota-nya. 

Lalu sang adik yang ia harapkan bisa menggantikan posisinya dalam mengelola bisnis peninggalan sang ayah, malah bekerja di luar kota.

Sementara berbagai tekanan terus berdatangan dari sang antagonis Mr. Potter yang kerap mengganggu bisnisnya, atas dasar kompetisi yang tidak sehat, sehingga George dan Marry terpaksa menunda bulan madu mereka.

Melalui figur sang ayah yang mendidiknya serta kasih sang ibu, George sesungguhnya dikaruniai sejumlah anugerah yang tidak pernah ia sadari dalam perjalanan hidupnya di Bradford Falls.

Berbagai hal seperti kebesaran, kemurahan serta kerendahan hati, kebijakan, belas kasihan, juga jiwa sosial yang tinggi, lekat dengan dirinya.

Semua itu membuat George selalu disegani banyak orang yang sedang kesulitan keuangan dengan status sosial-ekonomi menengah, selalu loyal dalam memanfaatkan jasa perusahaan keluarga Bailey yang fokus dalam hal peminjaman dana dan subsidi tempat tinggal.

Karakter George Bailey adalah sebuah panutan bagi keluarganya, baik sebagai anak dari orang-tuanya, keponakan bagi pamannya, kakak bagi adik lelakinya, suami bagi Marry, serta ayah bagi keempat anak-anaknya.

Sejak awal cerita, saat di usia 12 tahun, George menyelamatkan adiknya yakni Harry, yang menyebabkan gangguan pendengaran di telinga sebelah kirinya. 

Saat liburan sekolah, ia bekerja pada apotek yang berhasil mencegah kesalahan fatal akibat salah pemberian obat oleh majikannya terhadap salah satu pelanggan.

Maka berbagai kepahitan yang George alami melalui sudut pandangnya sendiri, sesungguhnya merupakan saluran berkat untuk sesamanya, hanya saja ia tidak pernah menyadari dan dikalahkan oleh ego-nya sendiri.

Baca juga: The Santa Clause (1994): Figur Sinterklas Sang Ayah

Kontras dengan Mr. Potter yang selalu menekan siapapun juga, karena sangat memperhitungkan profit dalam memperkaya diri, dengan mengabaikan norma sosial masyarakat hingga melampaui kesenjangan. 

Bahlan boleh dibilang, bahwa Mr. Potter merupakan figur tepat dalam narasi A Christmas Carol.  

sinopsis its a wonderful life
RKO Radio Pictures

Performa gemilang James Stewart tidak perlu diragukan lagi dalam membawakan karakter yang baik hati dan cenderung heroik, meski sampai pada babak ke-3 transformasinya begitu mengejutkan, penuh intensitas serta pilu.

Aktris Donna Reed yang berperan sebagai Marry terasa bersahaja, tipikal wanita setia yang jatuh cinta terhadap George sedari awal. 

Adapun karakter paman George bernama Billy yang diperankan Thomas Mitchell, cukup meyakinkan meski terkadang kocak.

Menariknya penampilan Henry Travers sebagai sang malaikat, tampak sedikit frustasi menunggu waktu tepat untuk mendapatkan sayapnya! 

Sang antagonis Mr. Potter yang diperankan aktor legendaris Lionel Barrymoore, juga tak kalah mengkilapnya, mampu meyakinkan audiens bahwa karakternya pantas dibenci oleh siapapun.

Baca juga: A Christmas Story (1983): Keinginan Besar Seorang Bocah di Hari Natal

It’s a Wonderful Life boleh dikatakan sebagai drama saga dalam durasi yang terhitung cukup singkat sepanjang dua jam saja.

Film ini mengisahkan sejumlah aspek mulai dari hasrat dan karir individu, kepedulian sesama terhadap lingkungan sosial, mengutamakan keluarga, hingga tiba akan mukjizat terhadap makna yang indah dibalik kepahitan.

Terdapat dua versi warna dalam film ini, yakni hitam-putih serta warna. 

Pilihan terakhir jelas lebih memuaskan untuk ditonton, sebab banyak setting mengagumkan untuk tipikal film klasik di era 40’an, termasuk implementasi painting matte, gemerlap neon lights di kawasan komersil perkotaan, hingga sejumlah building prop yang enak dilihat.

Sineas legendaris Frank Capra untuk kesekian kalinya, mampu mengangkat narasi It’s a Wonderful Life menuju level atas terhadap elemen drama akan kombinasi humor dan sedikit komedi, emosional dan tragedi, serta sejumlah kejutan.

Demikian sinema drama review It’s a Wonderful Life, film bertemakan Natal tentang indahnya makna dibalik kepahitan.

Score: 4 / 4 stars

It’s a Wonderful Life | 1946 | Drama, Fantasi | Pemain: James Stewart, Donna Reed, Lionel Barrymoore, Thomas Mitchell, Henry Travers, Beulah Bondi, Ward Bond, Frank Faylen, loria Grahame | Sutradara: Frank Capra | Produser: Frank Capra | Penulis: Berdasarkan cerita singkat The Greatest Gift karya Philip Van Doren Stern. Naskah: Frances Goodrich, Albert Heckett, Frank Capra | Musik: Dimitri Tiomkin | Sinematografi: Joseph Walker, Joseph Biroc | Distributor: RKO Radio Pictures | Negara: Amerika Serikat | Durasi: 135 Menit

Comments