John Carpenter, Sang Maestro Independen (Bagian 2)
Era Meredupnya Karir Carpenter
Tahun 90'an boleh dikatakan sebagai titik mundur karir Carpenter, yang ironisnya bahwa semua film garapannya didistribusikan oleh studio besar.
Dimulai dari The Memoars of Invisible Man (1992), sebuah film science fiction comedy adaptasi lepas novel klasik karya H.F. Saint.
Dibawah komando Warner Bros yang tidak mengijinkan peletakkan John Carpenter’s sebelum judul film, akhirnya mendapat kerugian secara pendapatan dan kritik, karena membatasi ruang gerak kreativitasnya.
Carpenter kembali menangani film televisi, sebuah antologi horor berjudul Body Bags (1993). Ia berperan sebagai pembawa acara dan tiga koleganya hadir sebagai cameo, seperti Tobe Hoper, Wes Craven dan Sam Raimi.
Film yang pujian kritik itu memang menandakan kembalinya Carpenter ke jalur horor murni ciri khasnya
Setahun kemudian, In The Mouth of Madness dirilis yang menjadi penutup Apocalypse Trilogy bersama dengan The Thing dan Prince of Darkness. Film yang bergaya H.P. Lovecraft tersebut memang harus fokus mengikuti ceritanya, dan anda akan terkejut pada akhirnya, meski bercampur dengan surealisme menarik.
Baca juga: Apocalypse Trilogy : The Thing (1982)
Status cult kembali diberikan terhadap film ini atas pendapatan maupun kritik dengan skor yang tidak memuaskan.
Baca juga: Apocalypse Trilogy : The Thing (1982)
Status cult kembali diberikan terhadap film ini atas pendapatan maupun kritik dengan skor yang tidak memuaskan.
Adapun film horor remake berjudul Village of the Damned (1995), lagi-lagi mengulangi kegagalan dari kerugian pendapatan dan kritik yang kurang memuaskan, sebanding dengan pengalaman saya menonton film terlupakan ini.
Begitu pula dengan sekuel Escape From L.A. (1996), yang didistribusikan Paramount Pictures, tampaknya akan menjadi antusiasme publik ketika akan dirilis. Meski tidak sebagus film pertamanya, dengan formula cerita yang mirip, akhirnya gagal di pasaran, terkait efek spesial yang buruk dan tidak menawarkan hal baru.
Film Vampires (1998) adalah film terakhirnya sebelum era baru, suatu perjudian besar dari Columbia Pictures untuk mengeruk keuntungan, yang ternyata hasilnya juga mengecewakan
Film Vampires sebenarnya cukup radikal saat itu, melalui pelintiran cerita yang cukup menarik, serta performa James Woods yang impresif, lumayan untuk hiburan horor gory modern.
Film Vampires sebenarnya cukup radikal saat itu, melalui pelintiran cerita yang cukup menarik, serta performa James Woods yang impresif, lumayan untuk hiburan horor gory modern.
Carpenter pernah diminta oleh Jamie Lee Curtis untuk kembali menggarap Halloween : H2O (1998), namun gagal karena permintaan fee yang tidak dikabulkan oleh pemilik studio, setelah pada film orisinilnya, ia tidak menerimanya sepeserpun.
Masa Vakum Menggarap Film
Tahun 2001 adalah tahun eksperimental Carpenter kembali mengunjungi genre fiksi ilmiah yang ditambah dengan horor aksi laga, yakni Ghosts of Mars.
Sebuah kombinasi dari Assault on Precinct 13 dan The Fog, dengan lokasi di planet Mars. Pendapatan yang merugi serta kritik yang buruk, membuat film yang awal rencananya berpotensi sebagai sekuel Snake Plissken di planet Mars, belum bisa memperbaiki karirnya.
Film tersebut boleh dibilang adalah yang terburuk selama karirnya, saya hanya cukup sekali menonton filmnya, sehingga tak termaafkan. Semenjak itu, nama Carpenter absen dalam dunia perfilman Amerika yang memang sedang mengalami kejenuhan dengan banyaknya pembuatan ulang.
Sembilan tahun kemudian, Carpenter kembali ke jalur indpenden, dengan rasa horor slasher bergaya Halloween, yakni The Ward (2010), dengan elemen psikologis dan tampaknya supranatural.
Kontras dengan penilian pribadi yang terkesan dengan film tersebut, lagi-lagi film itu dihujani kritik dan meredup di tangga box office.Selain itu, Carpenter sempat menyutradari dua episode dalam serial televisi Masters of Horror, yakni Cigarette Burns dan Pro-Life.
Kontribusi dan Kolaborasi Carpenter
Keahlian Carpenter sebagai seorang penulis cerita dan produser patut diapresiasi, atas dasar pekerjaan rangkap yang sudah biasa dilakukan sejak awal mula, karena keterbatasan biaya dan sponsor dari distributor atau studio besar.
Semenjak kesuksesan film Halloween, ia masih bersedia menulis cerita, menjadi komposer musik dan memproduksi Halloween II (1981) dan Halloween III : Season of the Witch (1982).
Carpenter pernah mencicipi akting sekaligus menjadi kru editor dalam film Last Foxtrot in Burbank (1973), menjadi cameo di beberapa filmnya, menjadi produser eksekutif di film The Philadelphia Experiment (1984), penulis cerita dan produser eksekutif di film Black Moon Rising (1986), serta komposer musik di film seri televisi, Zoo (2015).
Kolaborasinya dengan Kurt Russel adalah yang terbanyak, yakni lima kali. Urutan kedua ditempati oleh Adrienne Barbeau sebanyak empat kali. Kemudian kolaborasi dengan Donald Pleasence, Jamie Lee Curtis, Harry Dean Stanton dan Tom Atkins masing-masing sebanyak dua kali.
Komposer Film dan Karirnya Sebagai Musisi
Independent |
Seorang sineas yang merangkap sebagai komposer musik untuk filmnya sendiri, adalah hal yang langka, meski hanya memainkan alat yang lebih sederhana seperti keyboards dengan teknologi synthesizer, menghasilkan alunan nada musik yang indah sekaligus berwibawa, melankolis sekaligus berapi-api, misterius sekaligus mencekam.
Tema musik film Assault on Precinct 13 (1976) mulai dari opening credits hingga dalam adegan ketika kawanan gangster sedang mengendarai mobil, begitu terasa ‘beringas dan siap perang’ melalui alunan nada rendah.
Atau adegan ketika karakter utama, yakni seorang polisi tiba di sebuah kantor polisi dan adegan kematian salah satu karakter staf polisi, Julie, pada saat berlangsungnya baku tembak dengan gangster, begitu menyentuh dengan musik yang melankolis bernada sendu.
Film Halloween (1978) adalah salah satu tema horor terbaik sepanjang masa, padahal Carpenter mendapat inspirasinya dari film Suspiria (1977). Begitu di film The Fog (1980) yang se-tipikal dengan The Exorcist (1973) atau Phantasm (1979).
Sedangkan Escape From New York (1981) adalah salah satu masterpiece, baik saat opening dan ending credits, serta tak lupa dalam adegan ketika karakter antogonis Duke dan kelompoknya datang ke tempat kediaman karakter Brain.
Hal yang sama diulang dalam sekuelnya di tahun 1996 dengan merevisi gaya musik lebih menaikkan irama dan beat lebih kencang.
Baca juga: Apocalypse Trilogy : Prince of Darkness (1987)
Hal yang sama diulang dalam sekuelnya di tahun 1996 dengan merevisi gaya musik lebih menaikkan irama dan beat lebih kencang.
Baca juga: Apocalypse Trilogy : Prince of Darkness (1987)
Sedangkan beberapa film lainnya, menurut saya tidak sebaik dari beberapa tema musik yang disebutkan tadi, meski tetap enak didengar. Awalnya saya mengira tema musik film The Thing (1982) dimainkan oleh John Carpenter, yang ternyata dimainkan oleh sang maestro Ennio Morricone.
Di era 2010'an, Carpenter banting setir menjadi musisi, sebagai transformasi dari bakat yang ia miliki, dan mungkin menjadikan pelarian diri dari belakang kamera.
Di bulan Oktober 2014, ia meluncurkan single berjudul Vortex dari album perdananya, Lost Themes yang baru dirilis Februari 2015. Saya cukup menikmati ketika penasaran mendengar musik-musiknya di album tersebut.
Dengan gaya musik elektronik, pengaruh berbagai karya dari filmnya, dikombinasikan dengan sentuhan musik modern, tampak nilai filosofi dari musik-musiknya pun mengandung unsur misteri dan petualangan.
Album tersebut mendapat sambutan positif dari erbagai media ternama dan berhasil menembus tangga album hits di Amerika maupun Inggris. Album berikutnya, Lost Themes II dirilis pada April 2016.
Kesibukan lainnya yakni menjadi salah satu kreator untuk komik berjudul John Carpenter’s Asylum dan koleksi annual yang dipuji kritikus, John Carpenter’s Tales for a Halloween Night. Ia juga sempat menulis naskah game berjudul FEAR 3 untuk Warner Bros Interactive.
Berbagai Penghargaan yang Diperoleh dan Sisi Unik Carpenter
Carpenter menerima bebragai penghargaan prestisius semasa karir perfilmannya, mulai dari Academy Science Fiction, Fantasy & Horror Films untuk film Dark Star, Critics Award untuk film Halloween, The Fog, Prince of Darkness dan In the Mouth of Madness.
Lalu dalam Saturn Awards di film Vampires, hingga Bram Stoker Awards di kategori Lifetime Achievement Award 2008 dan di kategori yang sama dari Louisville Fright Night Film Festival untuk Festival Prize di kategori Lifetime Achievement Award 2011.
Lalu dalam Saturn Awards di film Vampires, hingga Bram Stoker Awards di kategori Lifetime Achievement Award 2008 dan di kategori yang sama dari Louisville Fright Night Film Festival untuk Festival Prize di kategori Lifetime Achievement Award 2011.
Carpenter merupakan sosok seniman dalam industri hiburan, yang memiliki ketajaman visi melalaui penceritaan dan karakterisasi, diterjemahkan ke dalam bentuk yang terkoneksi antara film dan musik.
Filmografinya yang hanya berjumlah 18 itu, namun meski secara kritik dari masing-masing film bervariatif, kebanyakan menghasilkan kontribusi signifikan sebagai budaya populer global, serta hampir di semua filmnya berstatus cult.
Sejatinya Carpenter memang pantas disebut sang maestro independen, terbukti dengan kontrol penuh atas kreativitasnya melalui studio berskala kecil atau menengah, sehingga menghasilkan kualitas terbaik.
Baca juga: Apocalypse Trilogy : In the Mouth of Madness (1994)
Ciri khas hampir di setiap filmnya, selalu dibubuhi dengan John Carpenter’s di atas judul film, serta memiliki tipe huruf yang sama di setiap kredit filmnya, baik di tampilan layar maupun poster.
Berbagai varian genre yang pernah digarap Caprenter, umumnya keluar sebagai film-film yang tidak sembarangan dan memiliki pengaruh signifikan terhadap generasi selanjutnya, kecuali mungkin komedi atau drama keluarga.
Transisi radikal akan kesan sebagai pria 'lembut' ala Disney dari seorang Kurt Russel menjadi badass, serta bagaimana Jamie Lee Curtis sempat dijuluki Scream Queen setelah meledaknya film Halloween, tentu tak lepas dari kepaiwaian Carpenter mengolah bakat kedua aktor tersebut, termasuk kembali menaikkan karir mendiang Donald Pleasence.
Pembuatan ulang film Assault on Precinct 13, Halloween, The Fog, bahkan hingga rencana terhadap Escape from New York pun menjadi bukti banyak filmnya yang sulit diulangi ke dalam versi baru.
Bahkan sineas dari prekuel The Thing (2011) sangat menghormati aspek film versi Carpenter, yang sayangnya dirusak oleh eksekutif studio dengan menggantikan beberapa elemen CGI melalui eksekusi konyol tersebut!
Bahkan sineas dari prekuel The Thing (2011) sangat menghormati aspek film versi Carpenter, yang sayangnya dirusak oleh eksekutif studio dengan menggantikan beberapa elemen CGI melalui eksekusi konyol tersebut!
Warisan Carpenter akan berbagai filmnya memang menjadi inspirasi bagi sineas generasi berikutnya hingga kini, dan saya masih setia menunggu karya-karya berikutnya.
Comments
Post a Comment